Pergilah Trauma!



Aku menyukai senja. Langit terasa begitu megah ketika rona jingga memahkotainya. Aku mengagumi keindahan gugusan cakrawalanya, apalagi ketika berbaur dengan garis pantai yang tenang. Aku sering menghabiskan waktu untuk sekedar menikmati senja di pinggir pantai. Senja dan pantai, mereka selalu menghadirkan kesejukan dalam diriku. Tapi itu dulu.

Apakah kamu pernah mengalami masa-masa sulit dalam kehidupanmu? Aku pernah mengalaminya. Aku menamakannya sebagai episode senja kelabu dalam hidupku. Senja yang muram, senja yang menghempaskan segalanya. Ah, kita hanya seorang manusia yang tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya dari detik sekarang.
Ketika itu, langit begitu pucat dan pias. Udara terasa dingin sampai menusuk ke dalam kalbu. Burung-burung camar yang biasa terbang dan bersendau di pinggir garis pantai ketika senja menyapapun, tak terlihat mengepakkan sayapnya. Sore itu kurasakan benar-benar lain dari biasanya. Entah, apa hanya perasaanku saja.
Saat itu, waktu menunjukkan pukul 17:10 WIB. Sore  itu aku bersiap menikmati senja dengan secangkir capuccino kesukaanku, ketika ku rasakan ada yang bergetar pada tempat ku berpijak. Seketika ku urungkan niatku, kembali ke dalam rumah. Beberapa detik selanjutnya getaran itu semakin besar dan kuat. Bumi memberontak murka. Gempa.. seumur hidup, baru sekali itu aku mengalaminya. Tiba-tiba semuanya berubah. Semuanya runtuh, luluh lantak tak bersisa. Tangis, pedih dan pilu memekik dimana-mana. Ditambah gerimis disertai angin yang menghentak, semakin menambah perihnya luka. Semuanya hancur, musnah, sirna.. begitupun dengan mimpi-mimpiku.
Apa yang kamu rasakan ketika kamu akan mengikat janji suci untuk selamanya dengan orang terkasih? Pasti membahagiakan bukan? Itu juga yang aku rasakan. Dan, apa yang kamu rasakan ketika mengetahui bahwa orang terkasih itu menjadi salah satu korban dari murkanya semesta itu? aku tidak mampu untuk melukiskannya! Yang kurasa, tiba-tiba semuanya menjadi hitam dan kelam. Duniaku seakan terhenti. Aku rapuh dan hampa.
Asa, mimpi, angan dan harapan pupus sudah. Segala hal yang telah kubangun dan kurencanakan terkubur bersama raganya. Sungguh, sulit sekali ketika harus menyaksikannya tertimbun reruntuhan bangunan. Aku tak kuasa membayangkan betapa panik, kalut dan takutnya dia saat itu. Yang ku ingat, sambungan telpon kami saat guncangan itu terjadi langsung terputus disertai teriakannya yang nyaring. Teriakan yang terasa begitu nyeri di telingaku, menusuk sampai jantungku. Dengan segenap kekuatan yang ada, ku mencoba menerima takdir itu. Ku iringi dia sampai peristirahatan terakhirnya.
Ku tak tahu harus bagaimana melanjutkan hidupku, ketika harus memulainya lagi dari titik nol. Aku merasa hidupku tiada artinya lagi. Selama hampir setahun aku barada dalam kondisi terburuk dan terpuruk. Tak ada senyum sama sekali di hari-hariku. Aku benar-benar kalah dengan keadaan. Aku trauma! Entahlah, aku tak tahu harus apa dan bagaimana.
Detik berlalu, hari terus berganti. Mentari pagi masih hangat menyapa jiwaku yang beku. Ingin ku menjemput kembali diriku yang dulu, sebelum tragedi itu. Aku yang selalu ceria, kemanakah diriku itu? Apakah aku akan menyiksa dan menutup diri, sampai kapan? Oh, doaku.. aku bisa segera menyudahi duka lara itu. Sebenarnya hati kecilku berkata, “Aku tidak mau menyerah!”
Akhirnya, aku hanya mempunyai dua pilihan. Terjebak dalam trauma panjang atau bangkit dari keterpurukan untuk melanjutkan hidup kembali. Ku yakinkan hati, ku teguhkan niat bahwa esok masih ada setitik cahaya yang kan menerangi jalan hidupku. Jika ku tak membuka mata, bagaimana aku tahu akan ada cahaya diluar sana yang siap menyambutku, menawarkan warna baru dunia padaku. Aku ingin kembali menikmati sepotong senja di tepi pantai, mendengar kicauan burung yang bersahutan dan berkejaran dengan ombak. Berharap episode kelam itu bisa terhapus waktu. Kenangan itu, biar menempati salah satu sudut hatiku. Sebuah kenangan tidak akan mungkin bisa terhapus, kita hanya butuh keikhlasan untuk merelakannya berlalu.
     Mungkin, aku sudah kehilangan dia. Tapi aku masih memiliki Dia yang Maha segala. Dia yang kan menunjukkan setapak jalan untukku menatap realita ke depan. Mengganti lara dengan tawa, bernyanyi bersama pelukan hangat sang fajar. Menyongsong harapan baru, menyulam asa dan merenda mimpi lagi! Semoga.. trauma senja kelam itu tergantikan dengan pesona indah pelangi yang kan mewarnai hari, kini, esok dan selanjutnya. Berharap, aku bisa menjemput kembali kebahagiaan itu!      (Inspired and Dedicated for Myfriend, Beib.. Don't give up, i know u can!)

You Might Also Like

2 comments