Apa yang terlintas di benak anda ketika mendengar nama
Timor Leste? Disintegrasi, referendum atau pelanggaran HAM? 23 tahun berada
dalam pangkuan ibu pertiwi, ternyata tidaklah cukup bagi PBB untuk mengakui
bahwa Lorosa’e termasuk wilayah NKRI. Selama kurun waktu itu, konflik tak
pernah surut merongrong daerah bekas jajahan Portugis itu. Pemerintah Indonesiapun
banyak mendapat kecaman dan tekanan dari dunia internasional. Berbagai
kebijakan diambil. Salah satunya, mengadakan jajak pendapat, menentukan nasib
rakyat Timor timur apakah akan tetap bergabung dengan NKRI atau memilih merdeka.
Hasilnya, jajak pendapat yang digelar tanggal 30 Agustus 2009 itu dimenangkan
oleh pihak pro kemerdekaan. Lebih dari 78% rakyat Timor timur memilih menutup
sejarah bersama NKRI. Masalahnya, pasca jajak pendapat, banyak pihak yang
kecewa. Lalu terjadi tindakan kekerasan, teror, intimidasi yang berbuntut pada pelanggaran
HAM. Akibat peristiwa itu, banyak orang mengungsi ke wilayah perbatasan yang
lebih aman.
Sekelumit perjalanan sejarah yang menggoreskan luka bagi
bangsa Indonesia maupun Timor Leste itulah yang mengilhami penulisan novel ini.
Dikisahkan, Marsela dan Juanito, dua anak yang tumbuh bersama di lingkungan
perkebunan kopi di Kabupaten Ermera. Marsela yang tinggal bersama ayahnya, cukup
berbahagia mendapat limpahan kasih sayang keluarga Juanito, tetangga
sebelahnya. Kebersamaan masa kecil sampai masa remaja yang ceria itu, telah
menumbuhkan benih kasih di antara mereka. Mereka memelihara dua anjing, Lon dan
Royo. Ketika Marsela lulus SMA, Juanito berniat mempersuntingnya. Tekad yang menggenapkan
keinginan Juanito untuk selalu menjaga Marsela. Tapi sayang, rencana indah itu
tertunda sampai batas waktu yang belum pasti.
Pilihan berbeda, itulah yang mendasarinya. Ayah Marsela
yang pro integrasi memilih meninggalkan Timor timur pasca referendum yang
menyisakan kekacauan itu. Karena Marsela menghormati ayahnya, dia mengikuti ke
manapun akan mengungsi. Itu berarti, dia juga harus meninggalkan Juanito,
sederet kenangan dan secuil harapan indah yang belum sempat terwujud. Mereka
mengungsi ke Atambua.
Beberapa tahun sesudahnya, kesedihan Marsela berlipat. Di
Atambua, ayahnya menghembuskan nafas terakhir setelah lama menanggung sakit.
Dia menjadi sebatang kara. Hanya Lon yang selalu ada di sampingnya. Manjadi
saksi semua kesedihan dan kepedihannya. Terkadang, hewanpun mempunyai empati.
Dia bisa ikut sedih saat tuannya sedih. Komunikasi dengan Juanitopun tak pernah
terjalin. Dalam kesendirian, bukan berarti tidak bisa menemukan seorang yang
tulus untuk berbagi. Di pengungsian, Marsela bersahabat dengan Yoanika dan Randu.
Yoanika, teman senasib yang sama-sama bekerja sebagai pemecah batu di sungai
Talau. Randu, seorang sopir truk pengangkut batu yang belakangan memerhatikan
Marsela. Randu sudah akrab dengan ayah Marsela ketika masih hidup. Alasan itu
menyebabkan Randu ingin menjaga Marsela, yang terkesan menutup diri. Argumen
yang hampir sama dengan yang pernah digaungkan Juanito dalam hatinya, dulu.
Randu menyodorkan harapan pada hidup Marsela yang hampa. Dia
selaksa hujan yang mencurahkan kesegaran pada tamanan yang hampir kering. Tapi
apakah Marsela bisa menerima semua kebaikan Randu? Sementara dalam hatinya,
kenangan akan Juanito, aroma kopi dan tanah kelahirannya masih bertalu-talu.
Marsela ingin pulang, memastikan bahwa masih ada kisah yang belum sepenuhnya
usai. Lalu, apakah Juanito masih sosok yang sama ketika musim dan sejarah telah
berganti? Ya, sepuluh tahun telah mengubah banyak hal. Perjalanan ke tanah
kelahiran, membuka mata Marsela. Dia harus memutuskan, pada siapa akan melabuhkan
hati.
Setting yang unik. Mungkin inilah salah satu kelebihan
novel yang menjadi pemenang ketiga lomba penulisan romance Qanita ini. Tak banyak pengarang yang melirik Timor Leste atau
Atambua sebagai setting ceritanya. Tapi Shabrina Ws mampu meracik dan
menyajikannya menjadi sebuah kisah yang manis. Ini seperti angin segar bagi
dunia novel remaja yang belakangan digempur oleh cerita dengan setting negeri
ginseng. Lebih unik lagi, di setiap tulisannya, Shabrina Ws kerap menyelipkan
tokoh hewan. Lagi-lagi, tak banyak pengarang di Indonesia yang konsisten berada
di jalur fabel. Dan di novel ini, meskipun tidak terlalu kental, prolog dan
epilognya menggunakan sudut pandang seekor anjing. Sungguh terasa menyentuh.
Kadang, hikmah kebijaksanaan bisa kita ambil dari sesuatu
yang sederhana. Karakter tokoh yang hampir semuanya protagonis mengajarkan pada
kita bahwa dalam keadaan terburuk sekalipun, kita harus tetap berfikir jernih.
Karena nyaris tanpa tokoh antagonis, konflik yang berjalan cenderung datar. Hanya
fokus pada konflik batin si tokoh utama. Setting yang begitu detail ada di
bagian-bagian akhir, membuka wawasan tentang keadaan Timor Leste sesudah
merdeka. Satu alasan kenapa novel ini layak dibaca, karena bahasanya yang
santun dan lembut. Novel santun seperti inilah yang sekiranya harus dibaca oleh
para remaja, sebagai bekal pemahaman dalam memandang dunianya.
Meskipun fiktif, sebuah novel cukup untuk
merepresentasikan suatu keadaan. Kisah Marsela, Juanito dan keluarganya mungkin
hanya selembar kecil dari setumpuk kisah pengungsi dan korban pelanggaran HAM.
Di luar sana, mungkin masih banyak yang menyimpan elegi serupa. Kini, Timor
Leste sudah mencatat sejarahnya sendiri sebagai bangsa yang merdeka. Kita hanya
perlu bergandengan tangan, bersama-sama menjadi negara tetangga yang saling
mendukung ke arah perbaikan. Karena kaitan perjalanan sejarah yang panjang,
tentu ikatan emosi antar dua negara juga tidak mudah dihapus begitu saja. Di
sini ataupun di sana, kampung halaman akan tetap dicinta. Di manapun kaki berpijak,
ketika sebuah memori sudah menguasai raga, dia akan berbalik untuk mencari
jalan pulang. Kembali pada kenangan.[]
Judul Buku : Always be in Your Heart, Pulang ke
Hatimu
Pengarang : Shabrina Ws
Penerbit : Qanita
Tebal : 236 Halaman
Terbit : Februari 2013
ISBN :
9786029225778
Obrigadu barak Nona :)
ReplyDeleteHehe, sami-sami Mbak Brin :)
ReplyDeleteHeran, kolom bales komen di atas itu kok ga berfungsi yak.. dasar template baru..