Review Madilog - Tan Malaka



Beberapa waktu yang lalu, tagar #kaburajadulu dan #indonesiagelap ramai di media sosial, sebagai bentuk penumpahan kekecewaan terhadap beberapa kebijakan pemerintah yang tak berpihak pada rakyat. Sebenarnya konsep ‘kabur aja dulu’ ini bukan sesuatu yang baru. Ketika Nusantara belum merdeka, para tokoh pendiri bangsa banyak yang ‘kabur’ dulu untuk mencerdaskan diri di luar negeri. Namun, tak sedikit pula yang ‘dipaksa kabur’ karena ide-idenya dianggap mengancam eksistensi pemerintahan kolonial saat itu.

Tan Malaka adalah salah satunya. Tan Malaka yang lahir di Sumatera Barat pada tahun 1897, merupakan seorang aktivis, pemimpin gerakan buruh, dan pejuang kemerdekaan. Pemikirannya revolusioner, sering berselisih dengan pemerintahan kolonial, dan bahkan pemerintah Indonesia pasca-kemerdekaan.

Sosoknya yang kontroversial itu membuatnya harus ‘dibuang’, hidup dari pengasingan ke pengasingan, dari satu negara ke negara lainnya selama bertahun-tahun. Namun, hidup di pengasingan bukan berarti perjuangan terhenti. Tan Malaka membekali dirinya dengan banyak bacaan. Konon, koleksi bukunya tertinggal dan tersebar di banyak negara.

Ketika berhasil masuk bumi Nusantara kembali pada tahun 1942, Tan Malaka menulis Madilog, tanpa referensi, hanya berbekal ingatan tentang buku-buku yang pernah dibacanya. Madilog diterbitkan pertama kali pada tahun 1943 dengan nama samaran. Pada masa Orde Baru, Madilog dilarang terbit karena dianggap terlalu radikal dan berpotensi mengancam stabilitas rezim saat itu.


Bisa dibilang Madilog adalah karya monumental Tan Malaka. Madilog merupakan akronim dari Materialisme, Dialektika, dan Logika. Madilog menggunakan pendekatan filosofis dalam memahami dan menganalisis realitas sosial, politik, dan ekonomi. Menurut Tan Malaka, pemikiran kritis rasional harus menjadi landasan dalam menghadapi masalah-masalah bangsa. Dengan menggabungkan materialisme, dialektika, dan logika akan membangun kerangka berpikir yang lebih tajam dan obyektif terhadap berbagai fenomena sosial.

Sebelum masa penjajahan, Nusantara merupakan wilayah yang kaya akan kebudayaan dan tradisi lokal. Namun penjajahan membawa kemiskinan dan ketidakadilan. Setelah kemerdekaan, Indonesia menghadapi tantangan baru dalam membangun identitas nasional dan sistem politik yang stabil. Madilog yang hadir dalam proses transisi saat itu, menawarkan cara berpikir yang membebaskan dan membangun.

Bagi saya, Madilog adalah buku yang berat, benar-benar menantang logika berpikir. Selain bukunya yang tebal dengan paragraf yang panjang, bahasanya menggunakan gaya bahasa Indonesia lama dengan pengaruh bahasa Minang. Meskipun sama-sama berakar Melayu, sebagai generasi yang hidup dengan mempelajari ejaan bahasa yang disempurnakan berkali-kali, tetap saja banyak bagian yang membuat saya pusing mencernanya.

Bahwa Madilog ditulis tanpa referensi, dengan latar belakang masyarakat yang minim literasi saat itu, adalah yang membuat saya mengagumi karya ini. Konten Madilog yang sarat pelajaran filsafat dan sains (matematika, fisika, biologi, dan kimia), menunjukkan seorang Tan Malaka yang polimatik, pintar dalam banyak bidang. Pembahasan mengenai bermacam-macam ideologi juga semakin mengayakan. Tak bisa dipungkiri, latar waktu penulisan Madilog adalah masa penjajahan, di mana banyak kekuatan perlawanan tumbuh, maka berbagai ideologi dapat dianalisis dan dirumuskan untuk dapat disaring dan disesuaikan dengan karakter bangsa yang akan dibangun.


Salah satu yang paling membekas bagi saya adalah ketika membaca tentang metode pengajaran yang coba ditawarkan dengan menggunakan konsep dialog, jembatan keledai, diskusi kritis, dan sosiodrama. Dialog merupakan komunikasi dua arah saat mengajar. Siswa didorong untuk mengkritik gurunya, dalam konteks saat itu adalah Belanda. Konsep jembatan keledai yang terinspirasi dari Al Ghazali, adalah cara untuk mengingat atau menghafalkan sesuatu dengan menggunakan beberapa kata atau suku kata yang ditambahkan pada susunan kata yang ingin dihafal agar terbentuk kalimat dengan arti yang menarik atau masuk akal. Saya sering menggunakan metode ini dulu ketika sekolah, contohnya akronim mejikuhibingiu dan ipolesosbudhankam. Selain menghafal, siswa diinstruksikan untuk memahami dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam sosiodrama, siswa diharapkan memahami masalah sosial dan menyelesaikan melalui role playing dan memberi hiburan setelah belajar.

Isi buku Madilog ini sangat luas, termasuk mengkritisi kebiasaan masyarakat yang masih terhubung dengan hal-hal yang berbau mistis. Tan Malaka menjabarkan pemikiran spiritualnya, termasuk menganalisis kepercayaan dan agama, mulai dari hinduisme, budhisme, sampai agama-agama samawi.


Mungkin karena terlalu luas bidang yang dibahas, dengan ide-ide yang terkadang tak bisa diterima oleh pihak-pihak tertentu, menjadikan Madilog kontroversial. Namun, di luar itu, Madilog tetap menjadi warisan berharga bagi literatur negeri. Berapa banyak buku yang terbit sebelum masa kemerdekaan yang berani membahas segala hal dengan pendekatan ilmiah? Rasanya tak banyak. Justru masalahnya ada dalam generasi kita sekarang, yang telah menikmati masa kemerdekaan dengan segala kebebasan dan limpahan edukasi. Berapa banyak buku yang telah kita baca, berapa banyak karya yang telah kita hasilkan untuk memberi kontribusi bagi kemajuan negeri?

Judul Buku    : Madilog
Penulis            : Tan Malaka
Penerbit         : Narasi

***

Untuk mengurangi tumpukan alias decluttering buku, saya menjual buku-buku yang telah selesai saya baca dengan harga lebih murah di sini: Alitera Books

Buku dijamin original. Ada koleksi buku baru dan  preloved.

Untuk buku Madilog bisa dicek di sini: Madilog New

You Might Also Like

No comments