Tahta Mahameru,
Menyusur Jejak Sahabat
“Di gunung,
kamu akan melihat setiap orang dalam wujud aslinya. Karakter orang akan tampak
jelas dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan segala kebaikan dan
keegoisannya. Kuat atau tidaknya dia, mandiri atau manjanya, rewel atau
tegarnya. Semua akan tampak di gunung. Silahkan kalau tidak mau mempercayai
mitos, tapi jangan mencelanya. Kita dilarang bersikap sombong dan egois selama
pendakian, karena alam tidak pernah main-main. Karena itu yang terpenting
adalah kita harus selalu mengingat Tuhan.”
Indonesia kaya
akan ragam budaya, tradisi dan keindahan alam yang mempesona. Kita patut
berbangga akan hal itu. Dan membaca Tahta Mahameru.. akan semakin menambah rasa
kebanggaan itu. Percayalah! :)
Adalah Raja
Ikhsan, cowok dengan kepribadian yang sulit ditebak. Ia angkuh, penyendiri dan broken home. Ia mendaki Mahameru sebagai
pelarian atas kemelut keluarganya. Di Ranu Pane (desa tertinggi di kawasan
Taman Nasional Bromo Tengger yang merupakan titik akhir perjalanan sebelum
mulai pendakian ke Gunung Semeru), ia bertemu dengan Faras, seorang gadis desa
yang sederhana, penyabar, kutu buku dan pecinta kahlil Gibran. Tiga tahun
berturut-turut, tiga kali mendaki, tiga kali pula mereka bertemu. Persahabatan
kilat itu menyisakan tanya yang tak terjawab. Ketika Ikhsan tiba-tiba
menghilang, Faras mencoba menyusur jejaknya dengan bekal foto dan tulisan-tulisan
pendek yang dikirimkan Ikhsan ke
emailnya.
Faraspun akhirnya
bersolo-trip, berharap bertemu dengan Ikhsan di Borobudur. Tapi takdir tidak
mempertemukannya dengan Ikhsan, ia malah bertemu dengan Mareta, seseorang yang
tersangkut kemelut dendam keluarga Ikhsan. Dan kebetulan selanjutnya, mereka
menjadi teman seperjalanan ke Makassar. Siapakah sebenarnya Mareta ? Apakah
Faras bertemu dengan Ikhsan di Makassar untuk sekedar menyampaikan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaannya dulu, terutama tentang Mahameru? Kemanakah Ikhsan, kenapa email-emailnya
selama ini tidak bisa menghadirkan komunikasi dua arah di antara mereka? Lalu,
kebetulan apalagi yang terjadi di Makassar, yang menjadi titik pengurai benang
kusut dari kisah ini?
Speechless! Itu
kesan saya ketika sampai ke lembar akhir novel ini. Bahasanya yang renyah
membuat saya tidak bisa berhenti membacanya (Saya baca sampai jam satu malam,
begadaaang :D). Alur yang dihadirkan maju-mundur membuat saya penasaran untuk
segera menyelesaikannya. Sudut pandang orang pertama yang digunakan secara
berganti-ganti antara Ikhsan, Faras dan Mareta membuat tokoh menjadi lebih
hidup dengan karakter yang kuat. Tema tentang kearifan lokal yang kental akan
budaya membuat novel ini kaya dan layak dijadikan sumber referensi. Karena
setting yang ditampilkan bukan sekedar tempelan, tapi jelas ada dan merupakan
pengalaman pribadi pengarangnya yang seorang backpacker (Mbak Yana.. ajakin eike bekpekeran duoong :))
Membaca novel ini,
kita serasa dibawa berpetualang mengikuti tokoh-tokohnya dari Jakarta,
Magelang, Makassar, Tanjung Bira, Bulukumba, Surabaya, Malang sampai kembali ke
Ranu Pane. Sungguh, sebuah kreativitas dalam menghadirkan setting yang patut
diacungi jempol. Di novel ini pula, sepertinya pengarang ingin mengkritisi
tentang adat yang kadang lebih kejam daripada hukuman yang diberikan Tuhan
lewat tokoh Fikri, pendaki gunung asal Makassar yang menjadi sahabat Ikhsan dan
Faras.
Yang membuat
berdecak kagum, pengarang mengupas adat dan budaya suku Bugis yang terkenal
dengan Kapal Pinisinya itu. Bahwa Pinisi, bukan hanya sebuah karya dan
pekerjaan. Ia adalah adat, warisan nenek moyang sejak ratusan tahun lalu.
Setiap kali Pinisi akan dibuat, selalu ada upacara yang mengawalinya, yaitu
upacara peletakan lunas (pondasi perahu) dan pemotongan bagian ujung dan
pangkal lunas. Potongan pangkal lunas akan dibuang ke laut, sebagai simbol agar
perahu bisa menyatu dengan ombak di lautan atau pelambang seorang suami yang
siap melaut mencari nafkah. Sementara potongan ujung lunas dibuang ke daratan,
sebagai simbol pengikat untuk kembali lagi ke daratan sejauh apapun sang pelaut
pergi atau pelambang seorang istri yang menunggu suami pulang melaut mencari
rezeki.
Dan tentu saja,
pengalaman mendaki Mahameru menghadirkan sensasi tersendiri, terutama bagi yang
belum pernah naik gunung (Hiks, jadi kangen naek-naek ke puncak gunung..
tinggi-tinggi sekali. Kiri kanan kulihat saja banyak pohon cemara,
halah..keterusan). Trekking yang
berat melewati tanjakan, padang pasir dan savana sepertinya terbayar lunas
ketika tangan berhasil menyentuh dingin segarnya air di Danau Ranu Kumbolo dan
kaki sudah menjejak puncak, menikmati sunrise
yang muncul di tengah-tengah lembah antara dua bukit yang mengitari Ranu Kumbolo.
Menikmati pemandangan di bawah yang jauh lebih kecil, garis pantai yang
terlihat samar, lautan awan yang berarak indah dan kawah Jonggring Saloka yang
menyemburkan abu vulkanik tiap dua puluh menit. Oh, pasti indah sekaliii..
(mupeng, ngais-ngais tanah!).
Saya hampir tidak
menemukan celah untuk mengkritisi novel pemenang kedua ‘Lomba Novel Republika
2012’ ini (Jiaah, mengkritisi, siapa juga gue.. ngiik! lempar sendal). Kekuatan
lain di novel ini, tetap menghadirkan sisi religi penggugah batin yang bisa
dijadikan pelajaran bersama. Tahta Mahameru.. puncak tertinggi pulau Jawa,
hanya satu bagian kecil dari seluruh ciptaanNya di angkasa raya. Di atas semua
itu, masih ada puncak tertinggi, yaitu tempat tertinggi antara surga dan
neraka. Wallahu’alam..
Tahta Mahameru..
Sebuah Mahakarya! It’s recommended..
:)
Judul :
Tahta Mahameru
Pengarang : Azzura Dayana
Penerbit : Republika
ISBN :
9786027595002
Tebal :
viii + 380 Halaman; 13,5 x 20,5 cm
Note : Dengan versi yang sedikit berbeda, coretan ini pernah diikutkan dalam lomba resensi novel Republika 2012 dan Alhamdulillah menjadi juara II
http://www.republika.co.id/berita/senggang/review-senggang/12/06/02/m4zbtr-mahameru-menyusur-jejak-sahabat
Diposting juga Di Olshopnya Republika, Di sini http://rolshop.co/news/detail_berita/507f7eedc1cc622217000001
Diposting juga Di Olshopnya Republika, Di sini http://rolshop.co/news/detail_berita/507f7eedc1cc622217000001
No comments