Setelah membaca buku ini, saya mengerti mengapa seorang Ghassan Kanafani begitu dicinta dan melegenda. Seluruh episode hidupnya yang tak panjang adalah kepingan-kepingan puzzle perjuangan, yang semangat dan optimismenya melintas generasi.
Buku Men in the Sun ini berisi 7 buah cerita yang terdiri dari 1 novelet, 5 cerita pendek, dan 1 kutipan novel.
Diawali oleh Men in the Sun, karya menakjubkan dan monumental Ghassan Kanafani yang ditulis pada tahun 1962. Bercerita tentang empat laki-laki yang masing-masing menggambarkan rakyat Palestina, yang tertipu oleh rezim dan kepemimpinan yang tidak efektif.
Abu Qais, mewakili generasi Nakba yang kehilangan segalanya dan hidup dalam kemiskinan di kamp pengungsian. Ketidakmampuannya menafkahi keluarga mendorongnya dalam dilema untuk mencoba peruntungan di tanah harapan bernama Kuwait.
Assad, mewakili generasi muda yang sudah dewasa. Akibat berselisih dengan pihak berwenang karena aktivitas politiknya, Assad dengan mantap memutuskan melakukan perjalanan berisiko untuk mencapai tanah harapan yang sama, Kuwait.
Marwan, mewakili generasi remaja yang putus sekolah karena kemiskinan. Keinginannya yang kuat untuk melanjutkan sekolah dan membantu keluarganya, membawanya dalam pusaran mimpi tentang tanah harapan, lagi-lagi Kuwait.
Mengapa Kuwait? Karena saat itu adalah masa booming minyak. Kuwait menjelma fatamorgana bagi para pengungsi Palestina yang diselundupkan dan telah mencapai Bashra, Irak. Kuwait dapat dijangkau dengan perjalanan darat melintasi gurun pasir terjal, dengan segala risikonya.
Abu Qais, Assad, dan Marwan sama-sama diselundupkan oleh Abul Khaizuran, seorang pengemudi truk hebat yang sebelumnya bertugas sebagai tentara Inggris selama lebih dari 5 tahun sebelum tragedi Nakba 1948. Ketika meninggalkan tentara, dia bergabung dengan pejuang kemerdekaan. Saat pengalaman mekaniknya bertambah, dia bergabung dengan pengemudi yang bekerja untuk Al-Haj Rida, seorang terpandang di Kuwait, dan menjadi salah satu pengemudi kepercayaannya.
Ghassan Kanafani begitu piawai mengeksplorasi karakter dan emosi tokoh-tokoh yang ditampilkannya. Di tangannya, Palestina menjelma metafora-metafora unik, sebagai pengingat abadi tragedi Palestina dan kompleksitas identitas yang muncul karenanya.
Abu Qais, Assad, dan Marwan adalah metafora rakyat Palestina yang sengsara dan tidak berdaya, yang akhirnya menjadi korban rezim. Abul Khaizuran adalah metafora tentara Arab yang memiliki gairah perang tetapi impoten secara militer. Penggambaran ini sangat bernas dikemukakan Ghassan Kanafani dalam adegan, ketika Abul Khaizuran sedang bernegosiasi di pos pemeriksaan tetapi lengah secara waktu akibat digoda oleh para birokrat tentang dirinya yang konon berpesta pora seksual dengan pelacur padahal impoten. Sementara tiga laki-laki yang coba diselundupkannya demi harapan hidup yang lebih baik, sedang meregang nyawa akibat panas dan kehabisan udara dalam tanki truknya yang menunggu di depan pos pemeriksaan.
And, similar suffering, misery, tragedy after tragedy still continues today..
Men in the Sun pernah difilmkan dengan judul The Dupes pada tahun 1973, setahun setelah pembunuhan Ghassan Kanafani akibat bom Israel yang meledak dalam mobilnya. Film Men in the Sun diproduksi di Syiria dengan sutradara Tewfik Saleh asal Mesir. Walaupun visual film masih hitam putih, tetapi latar gurun pasir pada musim panas sangat detil dan memukau. Para pemeran utamanya pun berakting dengan brilian, sangat menjiwai tokoh-tokoh yang diperankannya. Susah dipercaya kalau filmnya dibuat pada tahun 1970-an.
Film The Dupes bisa ditonton di sini.
Cerita selanjutnya adalah The Land of Sad Oranges, yang terinspirasi dari pengalaman hidup seorang Ghassan Kanafani sendiri. Dituturkan dengan sudut pandang orang pertama seorang bocah, yang terusir bersama keluarganya dalam tragedi Nakba.
Dalam If You were a Horse, Ghassan Kanafani menggambarkan kekhawatirannya tentang takhayul yang meramalkan masa depan dan sejauh mana pengetahuan tentang apa yang akan terjadi dapat memengaruhi jalannya masa depan. Kuda adalah kesukaan Ghassan Kanafani, yang bagi orang Arab melambangkan keindahan, keberanian, kejujuran, kecerdasan, kebenaran, dan kebebasan.
Begitu juga dalam The Falcon, elang sebagai simbol keindahan, cinta, misterius dan kematian. Tokoh Jadaan, seorang Badui, menggambarkan kebanggaan dan pengabdian pada cita-cita sehingga hidupnya dikorbankan.
Kemudian dalam A Hand in the Grave, dapat dilihat bahwa tokohnya lebih diduga sebagai korban tragedi yang terbatas, tetapi tidak dapat diremehkan karena hal tersebut disebabkan oleh kepengecutan, kekejaman dan ketidakjujuran.
Umm Saad adalah novel terpisah, dan dalam buku ini disertakan sedikit kutipan tentangnya. Pilihan karakter Umm Saad sebagai petani, menekankan pada sifat kolonialis zionis yang menjarah tanah dan pemukiman, mengusir keberadaan petani yang merupakan bagian terbesar dalam masyarakat Palestina. Dialog-dialog Umm Saad menyiratkan kerelaannya pada anak laki-lakinya yang bergabung dalam gerakan perlawanan, tetapi sesungguhnya separuh hatinya hancur.
Buku ini ditutup dengan Letter from Gaza, yang ditulis jauh sebelum cerita-cerita lainnya. Tokoh dalam Letter from Gaza menulis surat untuk temannya yang memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan dan mendapatkan pekerjaan di Amerika. Sebuah kesempatan yang juga didapatkan si tokoh, tetapi kemudian dilepaskan karena tragedi demi tragedi yang menimpa keluarganya di Gaza mengharuskannya untuk tetap tinggal dan berjuang di tanah kelahiran. Dalam cerita digambarkan bahwa ada begitu banyak warga Gaza yang terpaksa diamputasi anggota badannya akibat ledakan demi ledakan yang membombardir wilayah kecil itu.
Sounds familiar with what’s happening now?
Bayangkan, Letter from Gaza ditulis delapan tahun sesudah tragedi Nakba. Kini, 76 tahun lebih sejak tragedi Nakba, dan apa yang kita saksikan di Gaza jauh lebih mengerikan. Gaza menjadi daerah yang angka amputasinya paling tinggi sedunia. Bahkan PBB menyatakan bahwa setiap hari, ada sekitar sepuluh anak di Gaza yang harus diamputasi kaki atau tangannya. Seolah-olah tragedi demi tragedi yang menimpa Palestina tidak ada habisnya. Negeri yang dirundung penjajahan, blokade, apartheid, kesengsaraan, dan keputusasaan. Namun, bukankah ketabahan, kesabaran, dan keimanan yang ditampilkan oleh penduduk Palestina telah menumbuhkan kekuatan dan harapan?
Harapan yang mewujud perjuangan-perjuangan lintas generasi guna melengkapi sebuah puzzle berjudul kemerdekaan.
Dan seorang Ghassan Kanafani telah meletakkan puzzle perjuangan itu sejak awal hingga akhir periode kehidupannya dalam seluruh aspek perannya, baik sebagai siswa, mahasiswa, guru, penulis, editor, novelis, hingga aktivis. Puzzle yang akan terus diestafetkan dan dilengkapi hingga kemerdekaan tanah air yang dirindukan pun tertunaikan.
No comments