Review Gelap Terang Hidup Kartini

Kartini, Sang Pemantik Cahaya Perubahan

Hari Kartini diperingati setiap tahun. Namun terkadang perayaan itu tak lebih dari sebatas kebaya dan seremoni. Pengetahuan mengenai Kartini yang diajarkan di sekolah terasa klise dan rutin. Hanya seputar pemahaman bahwa Kartini adalah seorang putri ningrat yang mendobrak tradisi demi memperjuangkan emansipasi bagi kaumnya. Mengenai detail pemikiran dan gagasan Kartini, tak pernah benar-benar dipelajari, kecuali bagi yang punya inisiatif untuk mencarinya sendiri.

Melalui buku Gelap-Terang Hidup Kartini ini, pembaca diharapkan dapat mengetahui gambaran yang utuh mengenai sang pahlawan emansipasi. Buku ini merupakan bagian dari serial “Perempuan-Perempuan Perkasa’, yang diangkat dari edisi khusus Majalah Tempo April 2013. Pembahasan dalam buku ini terbagi ke dalam lima bab inti dengan beberapa subbab.

Review Buku Gelap-Terang Hidup Kartini

Bab pertama membahas tentang surat-surat, pikiran dan impian Kartini. Di sini diceritakan mengenai korespondensi Kartini dengan sahabat-sahabat penanya. Penemuannya akan sahabat pena berawal dari inisiatifnya melalui iklan mencari sahabat pena di majalah De Hollandsche Lelie. Estelle “Stella” Zeehandelaar, seorang aktivis feminis Belanda menyambut hangat iklan itu. Mereka pun intens berkorespondensi. Dalam salah satu suratnya, Kartini menulis, “Panggil aku Kartini saja!”. Hal itu menegaskan bahwa Kartini tak membanggakan gelar kebangsawanannya. Kartini juga rajin berkorespondesi dengan Marie Ovink-Soer, istri Asisten Residen Jepara, yang mulai bertugas di sana tepat sebelum Kartini masuk pingitan. Marie Ovink-Soer juga merupakan seorang pengarang novel remaja Belanda yang produktif dan terkenal. Marie memperkenalkan Kartini pada sastra feminis, seni lukis dan kefasihan berbahasa Belanda.

Perkenalan Kartini dengan Stella dan Marie membuka jalan perkenalannya dengan sahabat pena lainnya, seperti J.H Abendanon, Direktur Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia-Belanda yang juga seorang pendukung politik etis, beserta istrinya, Rosa Manuela Abendanon-Mandri. Kelak, keluarga Abendanon inilah yang mengumpulkan surat-surat Kartini dan pada tahun 1911 menerbitkannya menjadi sebuah buku berjudul Door Duisternis Tot Licht , yang secara harfiah berarti Dari Kegelapan Menuju Cahaya. Buku itu kemudian diterjemahkan oleh Armijn Pane menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1922.


Bab kedua membahas tentang seperempat abad perlawanan. Dalam bab ini digambarkan bahwa kecerdasan Kartini sudah tampak dari usia belia. Ia dikenal sebagai anak yang lincah dan kritis. Dalam sebuah percakapan dengan gadis Belanda di Europeesche Lagere School (setara sekolah dasar), Kartini ditanya kelak akan jadi apa. Pertanyaan itu terus membekas dan dicari jawabannya pada sepanjang hidupnya. Jawaban sang ayah bahwa kelak ia harus menjadi seorang Raden Ayu tak membuatnya puas. Justru hal itu membangkitkan jiwa Kartini untuk memberontak pada banyak aturan yang dianggapnya tak berpihak pada perempuan. Hal itu juga mengilhami Kartini untuk melanjutkan sekolahnya. Dalam bab ini juga diceritakan mengenai keadaan ketika Kartini dipingit. Korespondensi dengan sahabat-sahabat penanya adalah bentuk penghiburan atas kesedihan Kartini, sekaligus membuka cakrawala kebebasan di luar tembok pingitan. Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, yang penyayang tetapi terkungkung tradisi juga memberikan penghiburan berupa buku dan majalah. Ketika dua adik Kartini, Kardinah dan Roekmini bergabung dalam pingitan, mereka bertiga menyibukkan diri dengan membaca dan menulis. Mereka berkorespondensi dan menulis artikel untuk majalah dan koran. Salah satu bacaan yang menginspirasi Kartini adalah novel Max Havelaar karya Multatuli, yang menjadikannya pengamat sosial kritis atas sistem tanam paksa dan politik etis Hindia Belanda.

Semangat kakak-adik itu kian menyala ketika pada 2 Mei 1898 sang ayah membebaskan mereka dari pingitan. Mereka pun diajak ke Semarang untuk merayakan penobatan Ratu Wilhelmina. Kembali dari Semarang, mereka bertiga blusukan ke kampung-kampung, mendatangi sejumlah sentra kerajinan. Kartini menciptakan motif macan kurung dan lung-lungan (rangkaian) bunga untuk ukir Jepara dan mempromosikannya melalui perkumpulan Oest en West. Usaha itu berkembang pesat, pesanan perabotan membanjir. Taraf hidup pengrajin ukir Jepara pun meningkat. Kartini juga membuat buku resep masakan dan cara membatik. Tak berhenti sampai di situ, Kartini juga mendirikan sekolah di belakang rumah bagi gadis pribumi, yang terinspirasi dari Dewi Sartika di tanah Sunda. Di luar waktu sekolah, Kartini juga mengajarkan menjahit, merenda, memasak, serta membuat kue. Itu adalah sejumlah gagasan-gagasan brilian Kartini yang melampaui masanya.


Pada bab ketiga, kita akan melihat bagaimana Kartini terjepit antara cinta, impian, dan adat. Diceritakan bagaimana Kartini begitu mengagumi sosok kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, seorang bupati pertama yang memberikan pendidikan barat bagi anak-anaknya. Kartini juga mengidolakan kakaknya, Sosrokartono, yang sangat pintar dan berhasil melanjutkan pendidikan ke Belanda. Sosrokartono menguasai 24 bahasa asing dan 10 bahasa suku nusantara. Dari Sosrokartono pula, Kartini mendapatkan bacaan-bacaan bermutu dan terinspirasi untuk berpikir maju.

Pada bab ini juga diceritakan sekelumit kisah tentang Roekmini yang berhasil melanjutkan cita-cita Kartini mendirikan sekolah di Jepara, dan Kardinah yang berhasil membangun rumah sakit di Tegal dari honor-honor menulisnya. Disertakan juga sepenggal kisah tentang anak semata wayang Kartini, Raden Mas Soesalit yang enggan menjadi bupati dan memilih karier sebagai tentara.

Pada bab keempat, dibahas tentang tiga tragedi dalam hidup Kartini. Tragedi itu meliputi kandasnya harapan untuk melanjutkan sekolah ke Belanda, yang justru merupakan saran dari sahabat pena yang sudah dianggapnya sebagai keluarga. Tragedi selanjutnya adalah datangnya lamaran dari Raden Mas Adipati Ario Singgih Djojoadiningrat, bupati Rembang yang telah beristri tiga. Kartini memupus impian bersekolah dan takluk pada tradisi dengan banyak pertimbangan, salah satunya adalah karena rasa sayang dan hormat pada ayahnya. Ini menunjukkan kedewasaan dan kematangan pemikiran seorang Kartini. Tragedi terakhir terjadi empat hari setelah melahirkan, Kartini meregang nyawa akibat proses persalinan yang berat.

Bab kelima membahas mengenai kontradiksi warisan peninggalan Kartini. Museum Kartini di Jepara tampak tak tersentuh perbaikan. Sedikitnya jumlah pengunjung tak mampu menutup biaya operasional museum. Sementara di Perpustakaan Institut Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV) di Leiden, Belanda begitu terawat dengan baik. Bahkan untuk melestarikannya, surat-surat Kartini disimpan dalam mikrofilm dan akan segera membuatnya dalam bentuk digital. Ini seperti sebuah tamparan, di mana warisan kepahlawanan di negara lain ternyata lebih dihargai daripada di negeri sendiri.


Secara keseluruhan, buku ini menjawab rasa penasaran saya akan pemikiran dan gagasan Kartini yang tak saya temui ketika duduk di bangku sekolah dulu. Ada rasa penyesalan mengapa baru sekarang saya membaca buku ini. Jika buku semacam ini ada dari dulu dan dijadikan bacaan wajib di sekolah, tentu pemikiran dan gagasan Kartini akan mengendap lebih awal di benak para siswa.

Pendedahan pemikiran dan gagasan Kartini yang brilian itu tentu tak lepas dari peran penyunting yang kompeten. Leila S. Chudori yang merupakan redaktur senior majalah Tempo ini berhasil membidik dan menyajikan berbagai gagasan kartini secara bernas dan komprehensif. Leila S. Chudori juga seorang penulis skenario dan novel produktif yang telah memenangi berbagai penghargaan bergengsi, di antaranya Penulis Skenario Drama Televisi Terpuji (2006; Dunia Tanpa Koma), Penghargaan Sastra Badan Bahasa Indonesia (2011; 9 Dari Nadira) dan Southest Asian Writers Award (SEA Write Award) 2020 untuk novelnya, Laut Bercerita. Novel-novel Leila S. Chudori secara jamak menggambarkan tentang kejujuran, keyakinan, pengorbanan dan hasrat jiwa yang bebas merdeka. Beberapa merupakan kritik terhadap politik dan sejarah. Ini sangat selaras dan sejalan dengan gagasan-gagasan Kartini yang mendambakan kebebasan dan kemerdekaan berpikir.

Selain ditangani oleh penyunting handal, kelebihan buku Gelap-Terang Hidup kartini ini adalah dilengkapi dengan foto-foto bernilai sejarah yang mendukung setiap subbabnya. Visualisasi tersebut sangat membantu pembaca untuk membayangkan kondisi dan lingkungan Kartini pada masa hidupnya. Halaman buku juga tidak terlalu tebal, jadi bisa dibaca sekali duduk. Sementara kekurangan buku ini adalah adanya pembahasan berulang pada beberapa bab. Hal ini bisa dimaklumi mengingat buku ini lahir dari kumpulan tulisan kolom majalah, yang setiap artikelnya menuntut pembahasan yang runut walau singkat.


Gagasan-Gagasan Kartini dan Tantangan Masa Depan

Pemikiran dan gagasan Kartini lahir dari kegelisahan dan ketidakberdayaan perempuan dalam kungkungan lingkungan kolonial dan feodal. Titel bangsawan yang memberinya akses dan kesempatan bersekolah dan mendapatkan bacaan-bacaan bermutu, tak lantas membuatnya jadi berbangga diri. Namun menggunakan prestise itu untuk menyuarakan hak-hak kaumnya.

Segala pencapaian Kartini tetaplah prestasi meskipun terselip beberapa kontroversi. Tak perlu membandingkan dengan pahlawan wanita yang memanggul senjata lainnya, karena setiap pahlawan memiliki kemampuan dan perjuangannya masing-masing. Pena Kartini adalah pedangnya, yang berperang melawan kebodohan dan keterbelakangan. Kartini lebih dari sekadar pendekar kaumnya. Kartini turut serta meletakkan fondasi dasar literasi bagi nusantara dan menginisiasi semangat kewirausahaan serta diplomasi yang memajukan perekonomian.

Skala pencapaian Kartini sebagai aktivis sosial memang tak masif, tetapi sebagai aktivis pemikir, terbukti gagasan-gagasan cemerlangnya tetap relevan sampai zaman sekarang, 140 tahunan setelah masanya. Tak bisa dipungkiri, Kartini telah memantikkan cahaya perubahan. Kini, di tengah perayaan hari lahirnya yang diperingati setiap tahun, seharusnya ada refleksi, alih-alih mendandani diri ala putri. Seharusnya ada kegelisahan yang sama seperti yang dirasakan Kartini pada masanya, ketika melihat isu-isu tentang demokrasi yang belum sepenuhnya tegak, kemiskinan, pendidikan mahal, kekerasan pada perempuan, human trafficking dan pasar bebas. Kegelisahan yang menumbuhkan gagasan cemerlang untuk menuntaskan segala persoalan. Agar cahaya itu tidak pudar lalu padam, tetapi terus menyala dalam gelap-terang zaman yang terus berubah.




Judul Buku                 : Gelap-Terang Hidup Kartini                           

Tim Penyunting          : Leila S. Chudori, Redaksi KPG

Tahun Terbit               : 2013

ISBN                         : 978-979-91-0591-2

Tebal Buku                 : xi + 148 hlm.; 16 x23 cm

Penerbit                     : Kepustakaan Populer Gramedia

 

 

PS: Selamat hari Kartini untuk wanita-wanita hebat Indonesia. Semoga kita semua bisa meneladani semangat dan karyanya!


 

You Might Also Like

No comments