Ini
aneh. Sungguh, terlalu aneh bahkan! Baiklah, sepertinya saya harus ngaku kalo
saya abis menangis. Bukan sekedar menangis berlinangan airmata di bawah bantal.
Bukan, tapi saya menangis tergugu, tersedu-sedu, apalah itu.. sampai bahu saya
terguncang hebat. Baiklah, silahkan berfikir saya lebay. Tapi faktanya memang
begitu.
Oke-oke,
selama ini kita banyak ngerumpiin drama korea yang katanya banyak menguras
airmata. Ya, saya akui bahwa saya termasuk salah satu korbannya. Karena itulah,
sekarang saya sangat membatasi nonton drama korea. Saya sangat selektif karena
tidak ingin terjebak untuk kedua kalinya. Kalaupun lagi pengin refreshing,
pilihan saya jatuh pada film-film yang sekali tayang langsung abis, tidak perlu
menghabiskan waktu berjam-jam demi mengikuti kelanjutannya. Sebentar, kok jadi
ngomongin drama korea yak! Apa hubungannya dengan tangisan saya. Ya, selama
ini, saya kesengsem berat sama salah
satu drama korea yang berjudul ‘endless love’. Entah sudah berapa puluh kali
saya menontonnya. Setiap kali menontonnya, saya harus menyiapkan sekotak tissue
di samping saya. Airmata saya nyerocos terus, serasa nggak mau dibendung. Saya
juga nggak tahu kenapa, mungkin karena saya terlalu menghayati kepedihan jalan
hidup tokohnya. Wajar memang, sangat mengharu biru, sampai saya terhanyut. Oke,
saya tambah lebay..
Jadi,
apakah saya akan bercerita tentang drama korea lagi? Bukan, saya sedang tidak
memfavoritkan salah satunya. Karena saya lagi blank, nggak bisa berfikir jernih ketika mau nulis (alesan),
makanya saya menghibur diri dengan nonton film. Dan payahnya, saya nonton film
yang dirilis entah berapa tahun lalu. Film ini sudah ngendap di folder saya,
tapi baru malam ini saya memutarnya. Helo, seandainya saya nonton film ini dari
dulu-dulu, mungkin motivasi hidup saya akan lebih baik dan banyak. Saya tahu,
saya mungkin ketinggalan banget, film ini udah nggak up to date lagi. saya memang mengincarnya sejak lama karena ada
embel-embel based on a true story,
pernah dibukukan dan best seller (judul
bukunya ‘Beetwen a rock and a hard place’, karya Aron Ralston). Dan ternyata,
film ini sukses membuat saya menangis lebay seperti itu.
Aron,
seorang yang memiliki hobi menjelajah dan mendaki tebing. Ia
menjadikan tebing sebagai rumah keduanya. Selama ini ia selalu menyukai
tantangan dan sangat percaya diri bisa menaklukannya. Dalam suatu pendakian di
lembah John biru, Utah, sesuatu yang tidak pernah dibayangkan menimpanya. Tangan
kanannya terhimpit batu yang tiba-tiba jatuh dari atas tebing ketika ia sedang
berjalan menyusuri celah-celah tebing. Ia terjebak sempurna di celah yang
sempit. Naas, batu yang mengimpit tangannya terlalu kuat menekan, sehingga
tangan kirinya tidak mampu menggesernya. Dan perjuanganpun dimulai (di sini
saya mulai tegang). Dengan peralatan seadanya, ia mencoba menggeser batu.
Cutter murahannya tidak cukup kuat untuk menggerus batu. Tali yang coba ia
ikatkan dengan bebatuan yang dibawahnya juga tidak cukup kuat mengangkat batu
tersebut. Sementara ibu jari tangan kanannya sudah kebas dan berubah warna
menjadi abu-abu, persoalan lain menghantui. Ya, ia hanya membawa sebotol
minuman dan sepotong roti. Bagaimana ia bisa bertahan, kalau batu yang menghimpit
tangannya tidak bisa ia geser dalam waktu sehari semalam? Dan dugaannya benar,
ia tidak cukup kuat untuk melepaskan diri.
Kalau
saya ada di posisi Aron saat itu, sudah pasti saya akan menangis meraung-raung
dulu sebelum bisa berfikir harus bagaimana. Tapi, Aron tidak. Ia tidak menangis
sedikitpun, bahkan mencoba untuk selalu tersenyum, bahkan sesekali tertawa.
Mungkin menertawakan kecerobohannya sendiri. Ia tidak memberi tahu seorangpun
kalau mau mendaki tebing. Ponselnyapun ketinggalan di rumah. Sempurna nelangsa.
Lebih nelangsa lagi ketika di hari ketiga ia mulai kehabisan air minum. Air
menjadi sesuatu yang sangat berharga. Kamu tahu rasanya jika harus (terpaksa)
meminum sesuatu yang keluar dari tubuhmu
karena tidak ada yang lain demi menyambung nyawamu? (di sini saya mulai
menangis). Dan salutnya, ia masih sempat merekam semua yang ia alami lewat
sebuah handycam kecil. Segala hal yang pernah terjadi dalam hidupnyapun
berkelebat, menyisakan ruang-ruang penyesalan dalam hatinya. Segala yang manis
sedikit banyak membuainya, menghibur seolah-olah apa yang ia alami sekarang
hanyalah mimpi buruk. Tapi ketika ia membuka mata, ia harus berhadapan dengan
kenyataan lagi.
Sinar
matahari menjadi sesuatu yang langka. Ketika cahayanya sedikit saja bisa
mengenai kakinya, kebahagiannya membuncah. sebuah badai dan hujan yang
tiba-tiba datang menambah penderitaannya. Mungkin ia boleh sedikit lega karena
botol minumnya bisa terisi air hujan. Tapi ternyata hujan tidak seramah itu.
Hujan memperparah keadaannya. Tali-talinya hanyut, tubuhnya menggigil. Kamu
bisa bayangkan, kamu tidak makan dan minum selama tiga hari dan tiba-tiba hujan
menyerangmu bertubi-tubi? Sungguh, nelangsa..
Pilihan
sulit harus dipilih Aron di hari kelima, apakah ia harus mati konyol di situ
atau melanjutkan hidupnya dengan konsekuensi, salah satu yang berharga dari
tubuhnya harus ia relakan untuk ditinggal bersama batu yang menghimpitnya. Ya,
dengan berat hati, ia memotong tangan kanannya sendiri dengan cutter yang tidak
begitu tajam. Bayangkan betapa lama perihnya! Bandingkan jika cutter itu tajam,
mungkin beberapa kali gores sudah bisa mematahkannya dan tidak terlalu lama
merasakan sakit. (di sinilah, tanpa disangka-sangka, tiba-tiba saya menangis
tersedu-sedu sambil memegang tangan saya). Tentu saya menutup mata untuk adegan
itu. Saya benar-benar tidak kuat, bahkan sekedar membayangkan. Kalau dalam
drama korea, saya menangis karena melihat pemainnya memang menangis atau
bersedih. Tapi di sini, saya menangis karena melihat pemainnya merasa lega
karena berhasil memotong tangannya, sebuah dilema besar. Betapa kita sebagai
manusia tidak memiliki hak penuh atas tubuh kita sendiri. Setiap saat, nikmat
itu bisa diambil kembali olehNya, kapan saja, sadar atau tidak, rela atau
tidak. Satu yang saya ingat, sebelum memotong tangannya, ia berdo’a agar tidak
pingsan. Karena kekuatan bertahan itulah, ia masih kuat berjalan menyusur
tebing mencari pertolongan. Dan saya, tak berhenti menangis sampai filmnya
usai. Dan rekor itupun pecah. Ini tangisan terhebat saya ketika nonton film..
Baiklah,
cukup segini saja curcolan geje saya (saya pikir daripada menangis, lebih baik
saya nulis curcolan). Maaf, mungkin kalian sudah pada menontonnya. Kesalahan timing semata-mata terletak pada saya
karena tidak up to date. Tapi kalau
ada yang belum nonton, saya recommend buat
nonton film ini. Sumpah, nggak bakalan nyesel. Ada banyak spirit yang bisa kita serap. Oya, judulnya 127 Hours.
Met
malem, have a nice sleep :)
[22112012]
wah, saya belum menontonnya
ReplyDeletemembaca ini, jadi kepengen segera menontonnya secara langsung....
makasih ya sharenya
Sama-sama.. dijamin nggak bakalan nyesel, tonton aja :)
Delete