Capernaum: Fiction, Documentary, or Based on True Story?




Photo credit: Wikipedia Capernaum

Apa jadinya jika seorang anak menuntut orang tuanya karena dilahirkan? Apa yang menyebabkan seorang anak sampai harus melakukan hal menyedihkan tersebut? Premis itulah yang coba dirangkai oleh sang sutradara, Nadine Labaki, hingga menghasilkan sebuah kisah menyentuh, yang diharapkan menghadirkan empati bagi penontonnya. 

Berlatar di kawasan kumuh di Beirut, Libanon, sosok Zain mungkin mewakili ribuan bahkan jutaan anak di luar sana yang masih berjuang dalam kemiskinan dan keterabaian. Tidak, saya tidak akan bercerita mengenai alur dan isi cerita film ini. Rasanya, akan lebih baik jika kalian menonton dan menyimpulkannya sendiri.


Photo credit: Google




Saya salut dengan ide awal pembuatan film ini. Nadine Labaki yang saat itu berjalan di tengah semrawutnya Beirut, merasa marah dengan dirinya sendiri atas berbagai hal yang dilihatnya. Lalu ia berpikir, kontribusi apa yang bisa ia lakukan untuk mengubah keadaan yang menurutnya sangat menyedihkan itu? Saya juga acungkan dua jempol untuk keberanian Nadine Labaki yang kemudian menghadirkan sosok-sosok non profesional sebagai bintang filmnya. Zain Al Rafeea yang memerankan Zain adalah seorang pengungsi Suriah. Chemistry-nya begitu kuat disandingkan dengan Boluwatife Treasure Bankole, seorang anak perempuan satu tahun yang dideportasi ke Kenya, yang memerankan Yonas, untuk dirinya sendiri. Kau bisa bayangkan, bagaimana naturalnya mereka saat menyusuri kawasan kumuh, jalanan dan pasar Beirut? Pada saat menyaksikan itu semua, saya merasa tidak sedang menonton film. Karena semua terasa nyata. It feels like watching a documentary film. Terlepas ada sedikit sisipan fiksi, film ini adalah murni kisah nyata para pemeran utamanya. Menjadi sepotong refleksi bagi kita semua. Ternyata kenyataan hidup di luar sana kadang lebih menyedihkan dari sekadar fiksi.

Capernaum sendiri diambil dari Bahasa Perancis yang berarti ‘kekacauan’. Kekacauan dan kerumitan yang terjadi pada hidup orang dewasa, seharusnya tidak berimbas kepada anak-anak. Mereka berhak menikmati dunianya, tanpa eksploitasi berbalut pemenuhan ekonomi.

Film ini sukses membuat saya merenung, cukup lama, mengenai perspektif anak yang masih begitu murni dan jujur apa adanya. Saya berharap akan banyak film dengan tema humanistis seperti ini di masa mendatang.

Photo credit: Google

Kerja keras Nadine Labaki dan kru filmnya membawa hasil mengharukan sekaligus menyenangkan. Capernaum menjadi film yang mendapat standing ovation selama lima belas menit di Festival Film Cannes. Film ini juga mendapat 23 penghargaan bergengsi dalam setahun (rentang waktu 2018-2019). Dan yang lebih melegakan lagi, Zain Al Rafeea juga sukses bermigrasi ke Norwegia dan bersekolah. Pada akhirnya, ia bisa belajar dan bermain, menikmati masa kanak-kanaknya, yang tidak ia dapatkan kala masih tinggal di Libanon. Itu adalah kenyataan manis setelah berpeluh kesah dengan kehidupan masa kecilnya yang serupa fiksi.


Photo credit: Google

You Might Also Like

2 comments

  1. Wow keren akhirnya pemainnya malah bisa keluar dari negerinya yang carut marut itu ya, mba. Salut sama kerja keras para kru dan pemainnya juga.

    Banyak banget anak2 di negeri kayak Libanon ini yang masih harus berjuang buat keluar dari kemiskinan. Hiks

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya La, pasti kebahagiaan kru filmya tak terkira ya, bahwa karya yang mereka hasilkan bisa memberikan dampak baik

      Delete