Apakah Netizen Selalu Benar?


Siapa yang tak punya akun medsos? Mmm, sepertinya 8 dari 10 orang punya ya. Di era digital ini, medsos sudah sangat beragam dan menjadi semacam 'rutinitas' untuk saling berinteraksi di dalamnya. Sehari tak bermedsos, serasa sebulan tak keluar-keluar rumah, katanya. Beruntunglah pandemi Covid-19 ini terjadi saat dunia teknologi informasi sudah sedemikian majunya. Jadi kita tak merasa stres-stres amat. Selalu ada hikmah dan keringanan kan di tengah kesulitan? Medsos menjadi hiburan yang cukup menyenangkan di masa 'jaga jarak' ini. Pernah tergelitik dengan berbagai macam komentar netizen di medsos? Kadang lucu, sekali waktu membuat tertawa. Di lain waktu membuat geleng-geleng gemas pengin getok karena komentar-komentarnya yang pedas. Netizen seakan-akan selalu benar, suka sekali ngeyel dan gemar nyinyir. Apalagi kalau sudah ketemu sekutunya. Susah sekali dibendung dan dikendalikan. Tahu-tahu kolom komentar sudah ribuan (ini kolom komentarnya seleb sih 😜). Kenapa ya netizen bisa begitu? Apakah waktu luang begitu melimpah sehingga mereka hanya terpaku di dunia maya saja? Bisakah kita sebagai netizen, sedikit saja menyelipkan kesantunan di antara jari-jari yang betah berlompatan di atas keyboard itu?


Untuk sejenak, mari kita simak hikayat dari masa lampau yang mungkin bisa kita tarik benang merahnya ke masa kini untuk, ya, sekadar belajar bijak menyampaikan pendapat. Paling tidak, komentar-komentar yang kita keluarkan tak menyulut api di lapak orang. 

Alkisah, tersebutlah seorang ayah dan anak sedang melakukan perjalanan dengan seekor keledainya. Mereka berdua menunggangi keledai tersebut sampai melalui sebuah perkampungan. Orang-orang yang melihatnya berkomentar, "Dasar, anak-bapak yang tak berperikemanusiaan (eh berperikeledaian 😝). Tega sekali menungganginya berdua, sungguh keledai yang malang. Pasti beban yang ditanggungnya sungguh berat." Mereka mendengarkan perkataan orang-orang kampung itu dan berpikir, "Oh, iya juga ya."

Kemudian mereka melanjutkan perjalanan dengan mengurangi beban si keledai. Si anak tetap di atas punggung keledai, sementara sang ayah menuntun berjalan di sampingnya. Lalu keduanya pun melewati sebuah perkampungan kembali. Orang-orang di kampung yang melihatnya berkomentar, "Dasar anak durhaka, tega sekali membiarkan bapaknya berjalan. Sementara ia sendiri duduk nyaman di atas keledai." Mereka mendengarkan komentar tersebut, lalu bertukar posisi.

Mereka melanjutkan perjalanan kembali dengan posisi sebaliknya, sang ayah menunggangi keledai, sementara si anak menuntun berjalan di sampingnya. Mereka pun kembali melewati sebuah perkampungan. Orang-orang kampung tersebut berkomentar, "Dasar bapak yang tak tahu diri. Seharusnya ia malu duduk nyaman di atas keledai sementara anaknya kelelahan berjalan di sampingnya." Mereka mendengarkan komentar tersebut dan diambillah sebuah kesepakatan. 

Mereka melanjutkan perjalanan kembali dengan menuntun keledainya. Sementara sang ayah dan si anak sama-sama berjalan di samping kanan dan kirinya. Dalam waktu yang lebih lama dari perjalanan sebelumnya, mereka tiba di sebuah perkampungan lagi. Orang-orang kampung yang melihatnya berkomentar, "Dasar bapak-anak yang bodoh. Punya keledai tak ditunggangi. Apa gunanya punya keledai? Ya pantas saja kalau kelelahan."

See? We can't always delight others.. 

Dalam kasus pertama, mana kita tahu kalau mereka punya hajat penting dan harus segera sampai di tujuan, dan keledai mereka sehat, kuat serta baik-baik saja saat mereka berdua menungganginya? Dalam kasus kedua, mana kita tahu kalau si anak sedang sakit, tak kuat berjalan lalu harus menunggangi keledai, sementara sang ayah kuat dan baik-baik saja berjalan? Sebaliknya, dalam kasus ketiga, mana kita tahu kalau ternyata sang ayahlah yang sakit, sementara si anak sehat, baik-baik saja dan rela berjalan? Adapun di kasus keempat, mana kita tahu kalau keledai mereka ternyata sudah sedemikian kelelahannya sehingga harus melepas beban jika harus tetap bertahan hidup? Dan kemungkinan-kemungkinan lain yang tak kita ketahui. 

Dalam hidup, kita tak selalu bisa menyenangkan banyak orang. Selama hidup, akan selalu ada distraksi-distraksi, komentar-komentar yang ditujukan kepada kita, baik ataupun tidak baik. Rasanya, kita tak bisa menghindari itu. Sekali waktu, tak apalah memberi komentar terhadap sesuatu. Kita sebagai manusia memang dibekali akal yang tiap saat berkelindan, bertanya-tanya tentang sebab akibat. Kadang juga terlintas begitu saja pikiran dan pendapat tentang apa saja. Ada hal-hal yang cukup kita pikirkan, dan hanya hati yang tahu. Ada hal-hal yang pantas atau tak pantas kita ucapkan. Karena aspek kepantasan tersebut akan berbanding lurus dengan sikap dan perilaku. Jika setiap hal kita komentari, itu bukan hanya akan mengusik orang lain. Tapi bisa jadi, itu menunjukkan kalau jiwa kita sedang tidak baik-baik saja. Jiwa kita bermasalah. Jiwa kita sakit. And sometimes, we don't realize it. 

Nah, sebagai warganet (akhirnya pakai istilah baku) yang budiman, adakalanya kita perlu menempatkan diri kita di posisi orang lain. Maka, kita akan berpikir seribu kali untuk mengomentari apa saja tentang hidup orang lain. Siapa kita sampai harus menghakimi sikap, perilaku atau pilihan-pilihan yang telah dibuat orang lain? Apa kita cukup berperan dalam hidupnya? Hei, apakah kau pernah tahu, kalau di antara mereka ada yang menangis dan berdoa tiap malam, berjibaku dengan perjuangan meraih mimpi yang tak mudah. Apa kau pernah tahu, ada yang tertatih-tatih mengumpulkan harapan yang tercerai-berai. Apakah kau pernah tahu, mungkin satu kata darimu telah menyisakan luka di hatinya? Kita tak pernah tahu keseluruhan kisah hidup seseorang. Kita, jauuuh dari tahu dalam mengerti dan memahami orang lain. So stop being a judge for others. 

Sepertinya, nasihat Atticus kepada Scott dalam 'To Kill a Mockingbird' ini perlu kita renungkan, "Kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang, sampai kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya, sampai kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya."

Bisa jadi, selama ini kita melihat segala sesuatu hanya sepintas lalu. Bisa jadi, kita hanya meraba-raba di permukaan. Bisa jadi, kita hanya bermain-main dengan prasangka. Lalu kita menyimpulkan sepihak, tanpa melihat lebih jauh ke dalam. Dan melabeli diri kita dengan 'yang lebih tahu' atau 'yang paling tahu'. Lalu, kabur sudah mana fakta, mana prasangka. Yang ada hanya gosip-gosip bertebaran. Secara tak sadar, kita hanyut dalam lautan gibah. Sesuatu yang sebenarnya haram, tapi pelan-pelan menelusup ke hari-hari kita, lalu menjadi kebiasaan. Tak ada lagi rasa takut akan dosanya. Karena semua sudah terasa sangat biasa. It's everyday life, kesannya.. 

But, life is not only about showing you know everything. It's about how you respect and value others.. 

Dan bukankah Allah telah mengajarkan kepada kita.. 

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah kamu mencari kesalahan orang lain dan jangan di antara kalian menggunjing sebagian yang lain. Apakah di antara kalian suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kalian akan merasa jijik. Bertakwalah kalian pada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat dan Maha Penyayang.” (Quran: Al-Hujurat 12)

Pada akhirnya, kita bisa menentukan sikap dan memilih kok, mau jadi warganet santun nan bijak saat mengeluarkan pendapat atau sekadar ikut-ikutan terbawa arus komentar ini-itu asal viral, tapi kosong makna dan menjejak luka. 😉

You Might Also Like

No comments