Kisah Sederhana


Kisah-kisah yang sederhana.. saat terakumulasi dan berlalu, 
akan menjadi sebentuk kenangan yang berharga, tak tergerus oleh zaman.

Ramadhan akan kembali menyapa. Entah kenapa, kesedihan itu selalu bergelayut, mengoyak kembali pertahanan hati yang selalu berusaha dikokohkan setegar karang. Beberapa Ramadhan menyisakan berbagai peristiwa yang berhasil menempaku menjadi pribadi yang harus bisa bertumpu pada kaki sendiri. Masih tergambar dengan jelas, slide demi slide itu.. yang mungkin takkan pernah kulupakan seumur hidupku. Saat harus melepasmu pergi. Ya.. baru saat itulah aku merasa kehilangan yang sebenar-benar kehilangan. Tak terhitung berapa kali air mata ini tercurah, sampai aku pernah berada pada tahap dimana aku tak bisa merasakan kesedihan lagi, tak bisa menangis lagi. Mungkin karena terlalu sering atau itulah puncak kesabaranku benar-benar diuji olehNya. Ya Allah, terima kasihku padaMu.. karena peristiwa itulah, aku menjadi dewasa, melihat segala sesuatu dengan nurani. Dan aku berharap, setiap ramadhan selanjutnyapun, akan memberiku makna dan hikmah dalam menapaki kehidupanku kemudian.
Hari pertama ramadhan saat itu, saat dimana seharusnya aku mulai mengukir mimpi-mimpi selepas menanggalkan seragam putih abu-abu, aku melihatmu semakin lemah. Rasanya hatiku miris harus melihatmu semenderita itu. Tapi tidak! Tidak ada kata menderita dalam hidupmu. Kau selalu terlihat tegar. Kau tak pernah menunjukkan kesedihanmu di hadapanku. Kau tak pernah memperdengarkan keluhanmu di depanku. Padahal, kau tahu.. aku ingin sekali mendengarmu mengeluh, sekedar berbagi rasa. Kau selalu membuatku iri, dengan segala kesederhanaan dan ketegaran yang yang kau miliki.
         Masih ingatkah engkau dengan masa kecilku? Siapa yang selalu membelaku saat ku temui ketidakadilan? Siapa yang rela mengantar dan menungguiku sampai jam sekolah taman kanak-kanak itu berakhir? Hmm, bodoh sekali ya aku harus melontarkan pertanyaan-pertanyaan itu. Tentu saja tidak ada yang lain, itu kau! Setiap saat aku selalu mengintip lewat jendela, takut kalau kau meninggalkanku sendiri. Sungguh, aku benar-benar tidak berani pulang sendiri. Ah, aku tahu kau harus bekerja.. makanya aku tidak protes ketika taman kanak-kanak itu harus ku cicipi hanya selama seminggu saja. Aku sangat manja ya waktu itu! Aku juga mengerti, kaulah yang mengajarkan kemandirian pada awal-awal kehidupanku.. saat kau memasukkan aku ke sekolah dasar yang paling dekat, agar aku bisa berjalan kaki sendiri melewati jalan setapak yang kau tunjukkan itu. Aku sangat mengerti.
Apakah kau juga masih ingat saat aku merengek-rengek ingin mengikutimu sampai ke sawah, lalu kau memboncengkan aku di sepeda bututmu?  Di sawah itu, banyak hal-hal baru kutemui. Aku melihat bagaimana cara orang menanam padi, menyiangi rumput, memberi pupuk sampai tiba saatnya masa panen. Saat itu aku memamerkan cincin emas yang kau belikan pada teman-temanmu. Aku puas saat melihat mereka terkagum-kagum dengan cahayanya yang berkilauan di bawah sinar mentari pagi. Aku melihat katak, ular dan binatang-binatang sawah lainnya berkejaran kesana-kemari di pematang sawah sampai ke sungai kecil di samping sawah. Dan kau tahu.. aku paling kapok saat kakiku digigit semut-semut merah saat bermain di gundukan tahan di pinggir sawahmu itu. Kakiku jadi bengkak, gatal dan kemerahan..
Tapi ternyata aku tidak benar-benar kapok, apalagi saat ku tahu kalau sawah tak lagi ditanami padi, tapi diselingi dengan tanaman lain agar tanah tetap subur. saat itu, kau menanam kacang hijau. Aku masih ingat bagaimana kau mengajarkan aku memasukkan biji-biji kacang hijau pada tanah yang sebelumnya sudah kau lubangi dengan tongkat-tongkat runcing. Aku memasukkannya dengan sangat hati-hati dan menutupnya dengan tanah rapat-rapat supaya tidak dicuri tikus sawah. Tapi, kau bilang justru itu akan membuat biji tidak tumbuh-tumbuh. Maka aku buka kembali gundukan-gundukan itu, aku perlakukan sebagaimana semestinya seperti katamu. Saat-saat menunggu kacang hijau itu tumbuh adalah saat-saat yang mendebarkan, karena aku merasa begitu ‘penting’ telah ikut menanamnya. Duh, betapa gembiranya saat panen itu tiba. Berkarung-karung kacang hijau berhasil dipanen. Setiap hari aku makan bubur kacang hijau, tapi kau tahu aku tak pernah bosan. Bahkan sampai sekarang.. aku masih menyukainya. Karena setiap makan bubur kacang hijau, hal pertama yang ku ingat adalah episode itu. sepertinya, itu akan menjadi makanan favoritku sepanjang masa.
Hmm, apakah kau juga masih ingat dengan gubuk kayu beratap daun kelapa kering yang kau buat untukku di belakang rumah? Itu adalah tempat favorit untuk belajar kelompok dan bermain apa saja dengan teman-temanku. Dan tanpa sepengetahuanmu, aku sering nakal.. aku suka terjun dari atasnya untuk mendarat di atas tumpukan jerami yang empuk! Tidak heran, rokku banyak yang robek karenanya..
Begitu banyak hal di masa lampau ingin kuuraikan semua, tapi sepertinya itu tidak akan cukup. Semua hal mengenaimu adalah tentang kesederhanaan. Diam-diam aku berharap, kelak, orang yang mendampingiku mengarungi bahtera kehidupan, aku inginkan yang sepertimu, jujur, sederhana dan bertanggung jawab! Kau pasti akan merestuinya kan? Meskipun, maaf.. kau tak akan pernah melihat saat-saat itu. Tapi aku yakin, kau selalu menginginkan yang terbaik bagiku, seperti yang pernah kau ungkapkan padaku di saat-saat terakhirmu. Kau bilang padaku bahwa aku harus bahagia. Ya, aku bahagia.. karena kau telah mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang berharga padaku. Kau memberikanku contoh yang nyata untuk menjadi tegar dan mandiri. Setegar engkau saat itu.
Kau tak pernah mengeluh sedikitpun meski ragamu semakin rapuh. Beban yang seharusnya kau bagi itu kau rasakan sendiri. Kau selalu berkilah.. kau hanya menceritakan padaku tentang hikayat masa lalumu, ketika kau mulai dengan sepetak tanah yang kau usahakan sendiri. Kau begitu berbinar saat menceritakan itu, seolah ingin agar aku tidak terlalu memikirkan kondisimu. Tidakkah kau tahu bahwa aku tahu semua, lebih dari yang kau ceritakan. Maaf, kalau aku menyembunyikannya. Vonis untukmu itu terlalu menyakitkan untukku. Tapi, aku sudah mempersiapkannya, bahkan untuk kemungkinan terburuk sekalipun. Aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Karena aku sudah berjanji sejak saat pertama mendengarnya, aku akan turuti semua maumu, tak akan mengecewakanmu apalagi membantahmu seperti yang pernah kulakukan sebelumnya. Aku sangat menyesal untuk hal-hal diluar batas kesanggupanku. Sekali lagi, mohon maafkan aku.
Ramadhan yang kulalui selama tiga minggu di rumah sakit itu cukup membuka mataku tentang semua hal. Aku bisa membedakan mana yang tulus dan mana yang tidak. Dan kau tetap tidak mengeluh.. sampai pada saat kau benar-benar menginginkan untuk pulang. Aku tahu.. entah, aku seperti memiliki firasat yang kuat kalau kau memang benar-benar akan pulang yang sebenar-benar pulang. Dan.. semua itu memang sudah tergaris, takdir tidak bisa dielak. Tapi aku puas sudah berusaha memberi yang terbaik untukmu, menuntunmu melafalkan kalimat syahadat dan tahlil dan kau berhasil menirukannya. Semoga itu memudahkanmu menuju jalanNya..
Kau tahu, aku sangat terluka ketika harus berlebaran tanpamu. Sungguh sulit harus berdiri sendiri tanpamu. Empat puluh hari sesudah itu.. aku tidak bisa mengendalikan perasaan sedih, air mata ini seakan tidak pernah mau berhenti berlinang. Tapi, sekali lagi.. aku tak mau berlarut-larut, aku harus menjadi tegar dan kuat sepertimu. Aku harus membuatmu bangga dengan kemandirianku. Aku berharap, kau juga bahagia di sana.. tak merasakan sakit lagi. Kau tahu, aku telah mengabadikanmu dalam prasasti sejarahku. Itu adalah bukti hormatku padamu. Terima kasih untuk kasih sayang yang telah kau beri untukku, di sepanjang kehidupanku.
Ramadhan.. kau telah memberiku pelajaran hidup yang berharga. Aku ingin setiap ramadhan yang hadir akan selalu memberi berkah, makna dan hidayah.. pasti! Syahrul Mubarak.. Syahrul Maghfirah.. Syahrul Shaum wa Syahrul Qur’an.. Ramadhan Kariim.. ‘Alaina wa’alaikum.. Al’afu minkum....

--- Fath.. your daughter miss you so much.. ---


You Might Also Like

No comments