Home is ...


A new normal adaptation. Jadi, sedikit demi sedikit aktivitas di luar rumah mulai dijalankan lagi. Atas nama kesehatan fisik dan mental, boleh lah ya sekadar jogging, menghirup udara segar sambil memburu si endorphin. (Tetap dengan menerapkan protokol kesehatan, seperti memakai masker dan jaga jarak). Pagi ini melewati bilangan Menteng, Jakarta Pusat yang sejuk dan adem karena banyak pohon-pohonnya. Joggingnya sih uda niat banget. Tapi, berhubung yang dilewati adalah kawasan  paling elit, jadi mata nggak pernah lepas mengamati satu per satu penampakan rumah di situ. Dan kesimpulannya, rumahnya bagus nan mewah semua. Arsitekturnya beragam, rata-rata berpagar tinggi dan dijaga security 24 Jam. Dalam hati hanya mampu berucap, "Bahkan dalam mimpi pun tak berani mengkhayalkan mempunyai rumah-rumah seperti itu. Sangat-sangat di luar jangkauan." Dan acara jogging itu pun sedikit terdistraksi dengan hitung-menghitung aset orang yang bahkan tak pernah dikenal, ups. Bagaimana perjuangan mereka sampai mendapatkan hunian yang wow tersebut. Apakah mereka pernah jatuh-bangun dalam usaha-usahanya? Ah tapi tetap saja, angka rupiah yang terbayang-bayang super fantastis itu masih tak masuk di akal yang minimalis ini. Trust me, in my simple thought, home is one (not-too-big) building has little garden with a low fence and variety of flowers and vegetables. That's my dream home. Jadi, melihat pemandangan hunian mewah seperti itu, rasanya seperti di 'awang-awang'.

Bergerak lebih ke dalam lagi, berbelok dari jalan utama. Sedikit tertegun saat membaca nama jalan yang sepertinya tidak asing bagi warga Indonesia pada umumnya, karena seringnya muncul di berita-berita pada zamannya. Mmm, nama jalan itu adalah Cendana. Sambil lebih menajamkan penglihatan, akhirnya sampai di depan hunian luas serba hijau dan banyak ditumbuhi pohon-pohon besar. Agak sedikit berbeda dengan rumah-rumah sekitarnya yang sepertinya sudah berkali-kali direnovasi menyesuaikan kemajuan zaman. Rumah itu tampak tak pernah direnovasi, selama puluhan tahun dibiarkan asli, seperti apa adanya dulu. Lalu entah kenapa pikiran ini serasa melayang-layang lagi. Pasti pada masanya, rumah itu sangat ramai oleh canda tawa penghuninya. Ada masa saat rumah itu adalah rumah yang paling sibuk dengan rapat-rapat penting. Ada masa saat rumah itu menjadi bulan-bulanan media. Ada masa saat rumah itu harus melepas satu per satu penghuninya. Rumah itu telah melewati berbagai masa dengan suka dukanya.

Kini rumah itu sepi. Masih ada satu-dua pegawai yang terlihat bersih-bersih. Tapi tetap saja, suasananya begitu lengang. Mungkin generasi yang mewarisinya lebih memilih tinggal terpisah, membuat istana-istana baru yang lebih nyaman dalam versi mereka. Atau mungkin mereka menggunakannya hanya pada saat-saat tertentu, lebaran bersama misalnya. Ah, siapa lah kita yang hanya bisa menebak-nebak. Ini kan kawasan elit, wajar saja jika terlihat sepi, dalamnya ramai penghuni, mana kita tahu?

Apapun ceritanya, rumah hijau itu pernah menjadi saksi sejarah lintas generasi. Dan masih kokoh berdiri, hingga kini. Jejak-jejak kisahnya, manis pahitnya, akan tersimpan selalu oleh orang-orang yang pernah menghuninya.

Pada akhirnya, rumah hanya akan berisi kenangan-kenangan masa lalu. Jika ia terus diwariskan dari generasi ke generasi, kenangan yang ada akan terus sambung-menyambung. Jika dibiarkan pun, ia tetap menyimpan semua kisah dengan caranya sendiri. Paling tidak, bagi orang-orang yang melintasinya, yang berusaha memahami kisah-kisah di dalamnya, dari sudut pandangnya sendiri.

Lalu, kaki ini melangkah dengan lebih ringan. Lintasan pikiran masih tetap sama, belum berubah, "Home is one (not-too-big) building has little garden with a low fence and variety of flowers and vegetables. That's my dream home."

Karena sebagus, semewah dan sebesar apapun rumah, kita tak akan tinggal selamanya di sana. Home is a temporary stopover in this mortal world. It's better if we gather provisions for a home in Jannah.



You Might Also Like

No comments