Dia, seorang guru besar, pimpinan fakultas di universitas ternama. Sehari-hari, dia menggunakan kereta untuk pulang pergi ke kampusnya. Dia memilih untuk tak mempunyai kendaraan roda empat, padahal sangat mampu membelinya. Alasannya begitu menakjubkan, hanya tak ingin menambah macet ibu kota. Dia memilih untuk menjadi sederhana.
Dia, seorang direktur rumah sakit ternama. Karena rumahnya jauh, dia memutuskan indekos di kawasan sekitar kantornya. Sehari-hari, dia berjalan kaki ke kantornya. Penampilannya bersahaja, tak neko-neko. Jika mau, dia bisa saja tinggal di apartemen mahal dan bergaya mewah. Tapi dia memilih untuk menjadi sederhana.
Menyaksikan itu, muka ini tertunduk
malu ...
Ada orang-orang yang merasa nyaman menjadi dirinya sendiri. Ada orang-orang yang bertahan dengan prinsipnya. Di tengah ingar-bingar kehidupan yang digempur paham hedonisme dan konsumerisme, memilih menjadi sederhana itu tak mudah. Ada kalanya lingkungan memengaruhi pikiran dan menuntut macam-macam. Hanya orang-orang dengan pendirian teguh, mampu berjalan melawan arus.
Merenungkan kisah pada suatu masa ...
Tentang manusia paling mulia yang bergelar Al Amin, yang kesehariannya sangatlah bersahaja. Tak pernah berlebih-lebihan. Suatu hari dalam hidupnya, beliau pernah mengikatkan bebatuan pada perutnya demi menahan lapar. Beliau adalah pemimpin negara, tapi rela menjahit sendiri bajunya yang robek. Beliau menggunakan hartanya untuk kepentingan dakwah.
Kesahajaannya pun meneladani dan
menginspirasi sahabat-sahabatnya ...
Adalah sahabat yang paling beliau cintai. Lelaki santun dan lembut hati yang bergelar Ash-Shiddiq itu, harus berjualan dulu di pasar untuk memenuhi permintaan istrinya yang hanya ingin makan manisan. Ia gemar membelanjakan hartanya untuk memerdekakan budak-budak teraniaya. Bukan untuk kepentingan pribadinya. Hanya untuk mengharap ridho-Nya.
Adapun sahabat beliau yang bergelar Al Faruq, pernah tawaf mengelilingi Ka’bah dengan menggunakan kain yang terdapat dua belas tambalan, salah satunya ditambal dengan benang merah. Lelaki tangguh dan pemberani itu setiap hari menanyakan kepada jamaahnya, apakah ada yang membutuhkan sesuatu dan berkeliling pasar untuk memastikan keadaan ekonomi rakyatnya.
Lalu, sahabatnya yang mendapat julukan Dzunnurain, seringnya makan hanya dengan cuka dan minyak, tapi gemar memberikan makanan lezat kepada rakyatnya. Ia kaya raya, tetapi mengikhlaskan seluruh hartanya untuk dibelanjakan di jalan jihad.
Dan, sahabatnya yang dijuluki Abu At-Turab, dalam keadaan dingin memakai selendang lusuh yang sudah usang. Ia lebih menyukai pakaian sederhana dengan harga murah dan makan makanan kasar. Ia pernah punya tikar yang digunakan untuk tidur di malam hari, lalu di siang harinya digunakan untuk tempat makan. Ia lebih memilih menyedekahkan dirham kepada fakir miskin daripada menyimpannya.
Para khulafaurrasyidin itu memang juara dalam mencontoh kezuhudan dan kedermawanan sang manusia terbaik. Mereka mempunyai harta, kekuasaan dan wewenang. Tapi lebih memilih menggunakan seperlunya, tanpa dilebih-lebihkan. Mereka memiliki prinsip yang tak tergoyahkan. Dan itu tak mengurangi harkat dan martabatnya, justru derajatnya ditinggikan dan dimuliakan oleh-Nya.
Dalam keseharian, ada keadaan yang akhirnya mengharuskan kita untuk memilih. Pilihan-pilihan itu kadang berbenturan dengan kemampuan. Seharusnya kita bisa menakar diri, saat memutuskan perlu tidaknya memiliki sesuatu. Jika merasa tak mampu ya buat apa dipaksakan? Bukankah hanya akan membenani pundak ke depannya? Pun jika kita sebenarnya mampu, tapi tak terlalu membutuhkan, ya tidak ada salahnya menahan diri. Kita bisa mengalokasikannya untuk hal-hal yang lebih bermanfaat.
Menuruti keinginan duniawi itu tak akan ada habisnya. Diperbudak keinginan, laksana minum air laut yang justru tak tuntaskan dahaga. Merasa cukup dengan rezeki yang telah dianugerahkan oleh Allah adalah jalan membuka pintu ketenteraman. Kekurangan yang ada pada diri tak menjadi persoalan saat kita mampu bersyukur di segala kondisi.
Memilih menjadi sederhana dan apa adanya adalah salah satu bentuk qanaah yang membawa kepada pengasahan kepekaan sosial, yang tumbuhkan kebahagiaan hakiki.
Bahwa tak ada yang abadi, semua fana, semua hanya titipan. Dan, bukankah kita harus mempertanggungjawabkan semua hal di hadapan Sang Maha Segala, suatu saat nanti?
masya Allah... btw, di musim haji sampai sekarang karakter orang2 arab masih seperti itu. Bagi2 makanan dan minuman buat jamaah haji yg butuh. Gratis dan mewah.
ReplyDeleteIya, masyaallah indah ya Mbak Ade. Aku pernah ngalami juga saat di Madinah, bertemu warga setempat yang membawa kue dalam ukuran besar untuk dibagi-bagi ke jamaah di Masjid Nabawi, tak pandang negara. Terharu saat memakannya.
DeleteBtw, makasih ya Mbak Ade, untuk cerita-cerita saat kopdar dulu, yang menjadi pembuka tulisan di atas. How lucky you are...