Bahagia dengan Hidup Minimalis

Saya pernah membeli satu set parutan serbaguna. Awalnya saya pikir akan berguna untuk macam-macam. Bisa untuk parutan wortel, labu, keju dan lain-lain. Yang penting beli saja dulu, mumpung ada dan murah. Pada kenyataannya, saya jarang menggunakannya. Ketika beberes rumah, saya baru menyadari sudah memiliki sebuah parutan, oleh-oleh dari saudara. Bertahun Kemudian, saya belanja dan melihat parutan keju lucu dengan warna kesukaan. Saya pun tertarik membelinya. Payah, saya lupa sudah memiliki satu set parutan plus oleh-oleh dari saudara itu. Jadilah parutan saya numpuk. (Masaknya? Boro-boro!)

Pernah juga suatu hari saya beberes lemari dan menemukan ada beberapa baju dan jilbab yang bahkan belum pernah dipakai. Dan saya sudah membeli yang baru lagi. Akibatnya lemari overload. Ini juga pernah terjadi pada buku-buku. Pada saat ada bookfair, kadang saya kalap membeli banyak buku. Padahal masih ada buku-buku yang belum dibaca, bahkan masih ada yang tersegel rapi. Ini benar-benar payah. Jika saya tidak mengubah hal-hal ini, akan terjadi penumpukan barang berlebihan dan berefek pemborosan.


Suatu hari, saya juga beberes email. Membersihkan berkas-berkas supaya memori tidak kepenuhan. Dan saya pun sadar, ternyata ada banyaaak sekali pesan-pesan yang belum sempat terbaca. Pusing dengan banyaknya pesan itu (kebanyakan dari media sosial dan situs belanja online), saya pun membuat email baru agar lebih nyaman di mata dan pikiran. Agar tak tercampur aduk dengan pekerjaan. Ini juga terjadi pada flashdisk. Ketika saya merapikan berkas-berkas kantor, ternyata isi flasdisk saya begitu membingungkan saking banyaknya data. Selanjutnya, saya membeli flasdisk baru untuk menyelamatkan kepala saya dari kepuyengan. Jadilah saya punya lebih dari sepuluh flashdisk (ini ternyata tak mengurangi puyeng). Tambah puyeng lagi ketika harus menghapus foto-foto di ponsel karena memori yang sudah kritis. Dan ternyata butuh waktu yang tidak sebentar hanya untuk membersihkan isi ponsel. (Saya lebih memilih membersihkan rumput di kebun belakang rumah)

Dari situ, saya berpikir bahwa segala sesuatu yang berlebihan justru akan membebani. Konsep hidup sederhana yang selalu dipegang selama ini bisa ambyar, jika ‘godaan-godaan’ itu tak ditangani dengan bijak.

Saya pun bertekad untuk meminimalkan segalanya. I have to do minimalist, things and thinks!

 

MINIMALIST THINGS

Saya belum bisa seperti Fumio Sasaki yang bisa Goodbye Things, yang konon hanya menyisakan beberapa potong kemeja, celana panjang dan kaos kaki, serta menjual buku-buku beserta raknya. Tidak-tidak, jujur sepertinya itu tidak bisa saya terapkan, mengingat salah satu impian saya adalah memiliki perpustakaan dengan buku yang banyak. Dan beberapa potong baju? Oh, rasanya mustahil buat pekerja kantoran, yang kadang di satu waktu tertentu diharuskan memakai dress code.

Meminimalkan barang bukan berarti memiliki sedikit barang-barang, sehingga keperluan menjadi timpang. Tapi berusaha hanya memiliki barang yang dibutuhkan saja. Skala prioritas, sesuai kemampuan dan kebutuhan.




MENGAPA KITA HARUS MENERAPKAN KONSEP MINIMALIS?

Setidaknya ada tiga alasan kenapa kita harus hidup minimalis:

1. Tidak semua hal yang kita inginkan harus kita miliki.

Contoh kecil, ketika jalan-jalan di mall, kita melihat gaun Cinderella yang indaaah banget. Kita sangat tertarik saking cantiknya. Tapi pernah terpikir, apakah kita akan menghadiri pesta ala Cinderella? Mungkin seorang public figure membutuhkannya, tapi rasanya tidak untuk beberapa kalangan. Trus, saat melihat iklan ponsel keluaran terbaru, hati panas ingin segera membelinya, padahal ponsel yang ada juga masih oke-oke saja. Jadi sebenarnya sekadar keinginan itu bukan prioritas kebutuhan. Pertanyaannya bisa disambung, seberapa konsumtifkah kita? Apakah Kita sudah benar-benar membeli barang-barang yang hanya kita perlukan, bukan hanya mengikuti tren? Percayalah, tren itu akan selalu mengalir, berjalan terus, bahkan sesekali berlari kencang. Jika kita memaksakan untuk selalu mengikutinya, kita akan merasa kelelahan sendiri. (Pssst, postingan ini tidak berlaku untuk sultan dan sejenisnya).

2. Tidak semua hal yang kita miliki kita butuhkan.

Seperti kasus saya ketika beberes lemari. Ternyata ada baju-baju layak yang sudah jarang dipakai. Daripada lemari kepenuhan, mungkin lebih baik kita menyumbangkannya kepada yang lebih membutuhkan. Jadi nilai guna barang itu tidak terhenti di kita. Ada rasa ringan di hati ketika kita bisa melepaskan barang-barang yang sudah jarang terpakai lagi. (Wait, rasanya wajar jika barang yang sudah JARANG kita pakai harus mengunjungi pemilik yang baru. Rasanya akan menjadi luar biasa jika barang-barang yang kita sumbangkan adalah barang BARU dan yang kita sukai). Jangan lupa ucapkan terima kasih kepada barang itu karena sudah memberikan manfaat untuk kita. Manfaatnya akan berlanjut jika dipakai orang lain lagi. Dengan berbagi, kebahagiaan akan tumbuh berlipat. Percayalah, too much love things will kill you! Pertanggungjawaban di akhirat berat guys..

3. Tidak semua hal yang kita butuhkan mampu kita miliki. (highlight nih..)

Batasan kebutuhan barang-barang tiap orang tidaklah sama. Kebutuhan akan selalu ada. Dan tidak semua bisa diwujudkan serta-merta. Ada proses untuk mendapatkannya. Asal tidak lebih besar pasak daripada tiangnya, nanti bisa ambyar bangunannya. Saya sendiri sudah terbiasa hidup sederhana, karena memang begitulah keadaannya. Jadi sudah tak terlalu kaget dengan konsep minimalis. Kuncinya, merasa cukup dengan yang ada. Pahami kebutuhan diri. Dan selalu bersyukur agar pikiran lebih terkendali. Less things, less stress. Tidak harus ribet terobsesi barang yang tak teraih. Ada seni melatih kesabaran di sini. Selalu ada barang substitusi jika ternyata yang kita butuhkan tak terjangkau kantong.

 

TENTANG NILAI GUNA BARANG

Kadang membersihkan rumah tak cukup sehari, karena ternyata barang-barang yang kita miliki cukup melimpah. Nilai gunanya pun bermacam-macam. Dengan memilah-milah berdasarkan fungsinya, akan lebih memudahkan usaha mengurangi yang tak perlu. Kadang saya menerapkan sistem one in one out (terutama untuk baju-baju dan sejenisnya). Ada yang masuk, harus ada yang keluar. Membeli satu barang, berarti menghibahkan satu barang. Supaya seimbang, tak terjadi penumpukan dan nilai guna barangnya bisa maksimal.

1. Nilai konsumsi, adalah kegunaan barang itu sendiri. Piring untuk makan, gelas untuk minum. Wajar jika anggota keluarga banyak dan barang-barang tersebut juga banyak. Berhenti menambah jika jumlahnya sudah cukup. Tak perlu cadangan terlalu banyak sehingga memberatkan isi lemari.

2. Nilai estetika, adalah nilai barang dilihat dari keindahannya. Misalnya pigura-pigura cantik, lukisan pemandangan alam yang indah, koleksi barang antik. Satu dua rasanya wajar, supaya rumah terkesan ceria dan menyenangkan. Jika terlalu banyak, ingat, rumah kita bukan galeri seni.

3. Nilai historis, adalah ketika suatu barang itu mempunyai nilai kenangan dan layak untuk disimpan. Misalnya, piagam juara olimpiade matematika. Boleh-boleh saja disimpan karena prestasi adalah kebanggaan. Ini tantangan untuk para pengoleksi kenangan ya. Mungkin masih ada yang menyimpan surat-surat cinta merah jambu masa putih abu-abu (Jadian kagak, surat disimpen iya. Beeeh, apa pula itu. Glek *keseleg bolpen). Sudaaah, relakan saja. Nanti lama-lama takutnya dimakan rayap juga. Kenangan cukup di hati saja lah. (Plak, dilempar sendal). Ingat ya, rumah kita bukan museum bersejarah.

Ketika barang-barang yang kita miliki semakin sedikit, semakin berkurang pula beban kita untuk merawatnya, membersihkannya, menyusutkan asetnya atau mengasuransikannya. Risiko kehilangan pun akan berbanding lurus. Percayalah, Kita tak selalu dinilai dari barang-barang yang dipakai. Merek belum tentu menentukan kenyamanan. Rawat barang-barang yang kita punya sebaik mungkin agar nilai gunanya juga maksimal.

Saat hati terasa ringan karena ruang gerak lebih leluasa tanpa barang-barang yang menyesaki, pikiran akan terasa lebih segar dan kreativitas pun berkembang. Dengan hidup minimalis, kita juga membantu bumi supaya tak terlalu terbebani sampah yang tak perlu.

Mau belajar hidup minimalis? Kau bisa mencobanya dengan camping yang bukan glampcamp.

 

MINIMALIST THINKS

Karena tidak semua hal harus dimengerti. 

Dan kemampuan daya pikir manusia terbatas.

Serbuan teknologi informasi dan data di zaman digital ini, mau tak mau setiap saat otak bekerja memrosesnya. Berbagai macam notifikasi dari email, berbagai aplikasi dan media sosial, kadang sungguh sangat menyibukkan dan merepotkan.

Untuk membersihkan dan merapikan berbagai macam soft file itu kadang membutuhkan waktu yang tidak sebentar, seperti membersihkan rumah betulan. Mungkin ada satu dua, bahkan ratusan yang tak sempat terbaca saking sibuknya. Atau mungkin karena bukan prioritas. Lebih lama membersihkan sesuatu yang abstrak daripada sesuatu yang tampak di mata.

Ini aneh tapi nyata. Dulu kita merindukan ada surat atau pesan dalam inbox, karena sudah terbiasa dengan surat manual. Sekarang yang terjadi sebaliknya, saat ada banyak pesan bertubi-tubi masuk inbox, kita justru merindukan era surat manual yang dibuat dengan sepenuh hati dengan tulisan tangan serapi mungkin. Yang menunggunya dengan harap-harap cemas menanti petugas pos mengantar.

 
Ketika kita sudah begitu tergantung dengan doktrin teknologi, data dan informasi tak terbendung, kadang justru kita merindukan sesuatu yang klasik, tradisional, primitif. Saya lebih memilih membersihkan rumah atau merawat bebungaan di kebun. Sekali waktu melakukan itu, pikiran akan lebih rileks. Sekadar menghirup udara pagi yang bersih pun sungguh menyenangkan. Alam memang juara memulihkan segala keluhan kejiwaan.

 

TERDISTRAKSI NOTIFIKASI

Jika hidup cukup terdistraksi dengan berbagai macam notifikasi itu, lama-lama akan terjadi kelelahan mental. Yang kita butuhkan hanyalah menepi dan berpikir minimalis. Terutama media sosial. Tidak semua hal harus kita kabarkan kepada dunia. Ada hal-hal yang cukup untuk konsumsi pribadi supaya terjaga privasi diri. Stop komen yang tak perlu. Semakin banyak komen, semakin banyak notifikasi. Bayangkan, jika kau berkomentar di media sosial artis, misalnya. Jangankan dibalas, kadang dibaca pun tidak. Mereka juga ada kegiatan lain yang lebih penting. Dan kita, sebenarnya hanya buang-buang energi percuma. Percayalah, obsesi pengukuran online secara kuantitatif (jumlah komentar, like, follower) sejatinya tak terlalu memengaruhi kehidupan nyata kita. Bijaklah bermedsos, gunakan seperlunya saja. Semua jika sesuai fungsinya dan tidak berlebihan akan menjadi menyenangkan dan tidak memberatkan. Supaya, serbuan teknologi informasi yang masif itu tak mengalihkan perhatian kita terhadap diri dan lingkungan sekitar. Tak usah takut menjadi FOMO (Fear of Missing Out). Jika kita bisa menikmati keadaan dan bersyukur dengan pencapaian diri, akan ada JOMO (Joy of Missing Out). Tanpa medsos pun kita masih bisa beraktivitas normal.

 

PIKIRAN-PIKIRAN SEDERHANA

Sejatinya ada banyak hal-hal sederhana yang justru menghadirkan ketenteraman, yang bisa diterapkan baik di dunia nyata maupun dunia maya. Seperti riwayat Hadist At-Tirmidzi dan Ibnu Hasan berikut:

- Hayyin: orang yang memiliki ketenangan dan keteduhan lahir maupun batin. Tidak mudah memaki dan melaknat.

- Layyin: Orang yang lembut dan santun, baik bertutur kata maupun bersikap. Tidak kasar, tidak mengikuti hawa nafsu. Lemah lembut dan menginginkan kebaikan sesama manusia.

- Qarib: Orang yang akrab, ramah diajak bicara dan murah senyum jika bertemu.

- Sahl: Orang yang tidak memersulit sesuatu. Selalu ada cara untuk menyelesaikan setiap permasalahan.

Sesederhana itu, tapi butuh proses belajar secara terus-menerus untuk bisa berpikir dan bersikap seperti itu.

Manusia memang makhluk sosial. Sehebat apapun perannya di dunia maya (untuk eksistensi diri misalnya), ia tetap butuh menjejak bumi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Tidak membanding-bandingkan pencapaiannya dengan orang lain yang akan menyebabkan hilangnya rasa syukur. Bisa berpikir dan bersikap minimalis, membantu meringankan langkah dan pikiran supaya tak terbebani ekspektasi yang macam-macam.

 
 

You Might Also Like

No comments