Review Jalan Panjang Untuk Pulang

 

REVIEW ‘JALAN PANJANG UNTUK PULANG’

 SEKUMPULAN TULISAN PERSINGGAHAN (AGUSTINUS WIBOWO)

 

Saya mengadakan survei kecil-kecilan di lingkungan terbatas, kira-kira negara mana yang ingin dikunjungi untuk berlibur. Sebagian besar menjawab Jepang, Turki dan Swiss. Negara-negara empat musim yang maju dan indah. Iya maklum sih, kan kita tinggal di sekitar garis khatulistiwa yang hanya punya dua musim. Jadi rasanya tertarik dan penasaran ingin ‘mencicipi’ dinginnya salju atau sekadar melihat daun-daun berwarna terakota berguguran. Di antara jawaban-jawaban itu, saya perhatikan tak ada yang ingin mengunjungi negara-negara yang berakhiran ‘stan-stan’ di Asia Tengah sebagai pilihan pertama. Entah karena kurang tenar atau gimana.


Out of the box. Itu kesan yang saya rasakan ketika membaca buku-bukunya Agustinus Wibowo. Tiga buku sebelumnya: Selimut Debu, Garis Batas dan Titik Nol (sebaiknya dibaca berurutan untuk mendapatkan ‘rasa’ yang sempurna) bukan tentang berlibur sesaat ke negara-negara maju, nyaman dan tenang. Tapi, perjalanan panjang ke negara-negara yang berada di perbatasan, bahkan beberapa masuk ke dalam wilayah konflik. Jauh dari kata nyaman.

Selimut Debu mengisahkan pengalaman Agustinus yang bermukim di Afghanistan selama tiga tahun. Dilanjutkan dengan Garis Batas yang menggambarkan kepingan perjalanan melintasi negara-negara stan seperti Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan, Turkmenistan dan Pakistan. Disambung dengan Titik Nol yang merefleksikan seluruh makna perjalanan itu, ketika harus kembali ke koordinat awal.


Buku keempat, Jalan Panjang Untuk Pulang ini berisi kumpulan tulisan perjalanan yang pernah dimuat oleh media luar negeri, catatan lama yang diolah kembali dan beberapa tulisan baru. Jika diperhatikan, esai yang disuguhkan seperti kepingan mozaik, saling terikat satu sama lain. Yang secara mendalam mengerucut mengenai pemaknaan sebuah identitas.

Saat kita terjebak di satu identitas yang menghalangi kita untuk bergerak bebas, sementara ada seseorang yang mampu berkelana bebas lepas. Sungguh, ada seberkas rasa iri. Karena segala pengalaman perjalanan adalah hakikat kaya yang sebenarnya. Dan Agustinus telah membuktikan kekayaan pengalamannya yang telah didapatnya dari perjalanan fisik yang panjang.

Pandemi 2020 menghentikan langkah sejenak. Ketika tak lagi leluasa melakukan perjalanan fisik, ada perjalanan memori yang bisa diasah. Perjalanan yang merefleksikan diri. Inner Journey. Mengenang, merenungkan kembali segala pengalaman dan menemukan makna di dalamnya. Lagi-lagi, Agustinus membuat iri karena ia mampu mengolah ingatan yang merefleksikan perjalanan hidupnya, mengurai luka batin masa lalu dan belajar berdamai dengan diri sendiri demi optimisme masa depan.

Dan semua itu ia dapatkan dari perjalanan-perjalanan…

 

CATATAN-CATATAN PERJALANAN

Asia Tengah sepertinya tak bisa dipisahkan dari seorang Agustinus. Pengalamannya sebagai seorang jurnalis dan fotografer di negara-negara bekas koloni Uni Soviet itu memberinya banyak pengalaman berharga. Objektivitasnya dalam melihat aneka ragam budaya sangat berimbang. Kemampuannya untuk menguasai berbagai macam bahasa juga layak diacungi jempol. Dengan bahasa, sekat antar bangsa itu luruh. Tak pelak, keramahtamahan dan kebaikan warga setempat menjadi bonusnya. Saya salut dengan kebiasaan Agustinus yang berusaha menginap di rumah penduduk lokal. Itu membuatnya berbaur dan memahami adat-istiadat yang ada.

 

Asia Tengah
 

Ada satu catatan tentang Afghanistan yang membuat saya tergelak-gelak. Ketika Agustinus melakukan perjalanan dari Afghanistan ke Iran dengan penerbangan Ariana Air. Ketika ia harus menghadapi petugas bandara berlapis dan korup. (Saya membayangkan jika saya yang berada di posisinya pasti tak akan lolos dan rasanya ingin menyerah saja). Saya hampir tak percaya kalau hierarkinya ternyata begitu berbelit. Sudah dipalak bertubi-tubi, masih harus lari-larian menembus beberapa pagar, berebutan naik bis menuju pesawat yang hanya beberapa detik tapi menimbulkan ‘perkelahian’, sampai di dalam pesawatnya sendiri yang nomor tiket tak menjamin nomor tempat duduk. Bahkan orang Afghan sendiri mengakui, bahwa negaranya tak kan pernah maju dengan kelakuan warganya yang seperti itu.

Juga ada catatan yang membuat saya ternganga, tentang perbatasan Tajikistan dan Cina (tepatnya di wilayah Pamir) yang terpencil. Bagi orang Tajik, Cina adalah satu-satunya dari empat tetangga yang bisa diandalkan negara mungil terkunci daratan itu. Mereka rela mengembalikan sedikit tanah untuk ditukar dengan pembangunan jalan. Karena hanya itu solusi yang mereka punya. Sementara di kota Histevarz, perbatasan Tajikistan dan Kirgizstan hanya dipisahkan oleh jalan raya biasa, yang setiap berapa kilometer luruh sudah garis batas itu. Saat ada bangunan orang Tajik, maka itu Tajikistan, Saat ada bangunan orang Kirgiz, maka itu Kirgizstan. Ada pula tanah Tajikistan yang sepenuhnya dikelilingi oleh Kirgizstan (enklaf Vorukh). Vorukh terpisah dari daratan utama Tajikistan oleh sebuah desa Kirgizstan bernama Ak-Sai. Ironis, ada warganya yang tidak sadar bahwa selama empat puluh tahun ia tinggal di dalam sebuah enklaf.

Selain negara-negara di Asia Tengah, dalam buku ini, Agustinus juga menambahkan banyak catatan perjalanan di perbatasan Papua Nugini, Belanda dan Suriname.

Catatan tentang Papua Nugini juga membuat saya ternganga. Papua Nugini dianggap masih relatif primitif. Port Moresby terlihat sebagai barisan perbukitan hijau bergulung-gulung di tepi laut, ditebari rumah penduduk membentuk mozaik warna-warni. Perbukitan itu berhadapan langsung dengan biru kristal Lautan Teduh yang membentang luas tak terbatas. Sulit dipercaya kota secantik itu termasuk kota paling tidak layak huni di dunia. Kenapa?

Ada begitu banyak kriminalitas. Perampokan adalah hal yang biasa terjadi. Pesawat delay hampir terjadi setiap hari dan mendapat pemakluman. Yang paling parah, ada juga yang berangkat satu jam lebih awal tanpa memedulikan penumpang yang memiliki tiket tapi belum sampai ke bandara. Dan tak ada pemberitahuan. Semuanya adalah budaya yang termaklumkan. Memiliki tiket pesawat bukan jaminan bisa terbang. Kerugian dari semua tindak kriminalitas dan ketidakdisiplinan itu, semua orang harus membayar mahal karena harga-harga produk otomatis melonjak tinggi. Ini bagai lingkaran setan. Orang diperlakukan semena-mena, hak-hak terabaikan. Orang Papua Nugini sendiri bahkan memelesetkan nama negaranya menjadi PNG: Papua New Guinea Promise Not Guaranteed karena kekacauan-kekacauan itu.

Port Moresby
 

Di Papua Nugini dikenal istilah Wantok (dari bahasa Inggris One Talk. Yang berarti sekumpulan masyarakat yang berbicara dengan bahasa yang sama) berarti mereka adalah saudara Wantok. Mereka menganggap sebagai bangsa yang tidak materialistis. Ini bukan masalah take and give. Tetapi investasi hubungan. Karena jika berbagi rezeki dengan Wantok, maka nanti saat ada yang membutuhkan mereka, mereka pun akan datang menolong. Itulah jaringan keselamatan. Globalisasi juga telah menjadikan umat manusia sebagai sebuah Wantok, dipersatukan dalam bahasa uang.

Sekelumit catatan tentang Suriname membuat sisi ke-Jawa-an saya membangga sekaligus malu. Bagaimana bahasa dan budaya Jawa di Suriname begitu dihormati dan dilestarikan, padahal terpisah samudera ribuan kilometer dari tanah Jawa sendiri dan telah berganti generasi. Sementara di sini, di tanah air sendiri, budaya dan bahasa kesukuan tergerus pelan-pelan tanpa disadari. Salah satunya sebagai akibat globalisasi itu sendiri.

Bahasa dan ritual-ritual tradisi memang berfungsi sebagai penanda identitas, untuk mempersatukan orang suku ‘kita’ dan membedakan dari orang suku ‘mereka’.

Di Pakistan, kemarahan atas segala yang disebut sebagai penghujatan agama dibiarkan meluap-luap sampai berubah menjadi kebencian kolektif dan kekerasan massa, dengan dalih membela Tuhan Yang MahaKuasa, yang logikanya harus diimani jauh lebih berkuasa daripada manusia yang diciptakan-Nya.

Di Cina, Muslim Uighur mendapat pembatasan dalam beribadah. Di Myanmar, orang Rohingya dianggap sebagai pendatang, ilegal dan tidak diakui sebagai warga negara. Di Eropa, keturunan imigran Muslim sering dicurigai sebagai pelaku kriminal hanya karena wujud fisik dan penampilan mereka. Di Amerika, orang kulit hitam bisa dibunuh polisi tanpa melalui proses pengadilan.

Perlakuan yang tidak adil lambat laun akan menimbulkan perlawanan. Orang yang dilakukan berbeda akan terus merasa berbeda sehingga tak merasa dirinya sebagai bagian dari bangsa itu. Akhirnya mengotak-ngotakkan manusia dan memupuk kebencian di antara mereka.

Pada akhirnya, perjalanan sebenarnya mengajarkan kita bahwa dunia itu mejikuhibingiu

Perjalanan bukan untuk membanding-bandingkan. Tapi untuk saling mengenal, mengerti dan memahami cara hidup, budaya yang berbeda di tiap bangsa. Bukankah itu semua adalah warna-warni dunia yang indah? Jadi sebenarnya buat apa konflik antar negara itu diciptakan?

Jika pemakluman-pemakluman seperti itu ditumbuhkan, kedamaian akan menyelimuti dunia. Perang yang banyak merugikan manusia itu pun tak perlu terjadi.

 

MENGURAI IDENTITAS

Perjalanan, sejatinya untuk mengurangi ego pribadi. Di tempat asing, kita berusaha untuk menjadi pendengar yang baik, lebih berempati dan menyelami latar budaya bangsa yang berbeda. Beragam pertanyaan yang menuntut pemahaman lebih. Apa yang disebut identitas, apa itu bangsa, siapa yang menggambar garis batas, mengapa umat agama berbeda bisa saling membenci, mengapa kita terkotak-kotak karena konflik? Bagaimana kita bisa berdamai dengan semua itu?

Identitas adalah warna-warni dalam diri. Setiap orang memiliki beragam identitas di dalam dirinya. Tapi terkadang orang tidak menyadarinya. Ketika kita berbaur dengan orang yang sama sekali baru di negeri asing, barulah akan terlihat warna identitas kita.

Contoh riil yang kita sandang, Indonesia sebagai bangsa yang majemuk, bersuku-suku dengan ratusan bahasa. Kadang kita juga terkotak-kotakkan dengan identitas kesukuan. Tapi kita juga menyandang identitas universal yang sama, yaitu Indonesia.

Kadang, nasib seseorang ditentukan oleh garis-garis batas berwujud kertas yang selalu dipegang dan bawa ke mana-mana, yang menggambarkan identitasnya. Tetapi bahkan ketika kertas yang dipegang itu berubah, tetap ada bagian dari seseorang yang tidak serta merta ikut berubah karenanya. Misalnya, identitas yang dinilai secara fisik. Seorang keturunan Irak akan tetap dianggap sebagai orang Irak meskipun ia tinggal di Belanda dan memiliki paspor Belanda.

Pada akhirnya, identitas adalah sesuatu yang kita rasakan dalam hati. Hanya kita sendiri yang bisa menjawab identitas kita. Bukan orang lain yang menentukan. Identitas adalah sesuatu yang sangat personal, terus berganti dan bergeser. Dan ingatlah, kita punya bukan hanya satu identitas, melainkan banyak identitas sekaligus. Saat kita memahami identitas diri, kita akan berdamai dengan diri.

Dan inti dari perjalanan adalah menemukan jati diri, identitas yang melekat.

 

PEMAKNAAN JALAN PANJANG UNTUK PULANG

“Perjalanan adalah proses yang spiritual, yang meditatif, yang melucuti ego dan menjadikan kita sebagai musafir yang bukan siapa-siapa. Justru pada saat menjadi bukan siapa-siapa itulah, kita akan mengalami masa-masa yang paling bahagia. Terbebas dari tekanan untuk memakai topeng. Terbebas dari persaingan untuk menjadi makhluk sempurna.”

Lalu, kita pun bisa melihat dari sisi yang berbeda…

“Setelah perjalanan panjang, melihat tanah air itu bagai melihat foto-foto lama dari dirimu sendiri. Kau merasa dirimu yang ada di foto itu sudah bukan dirimu yang sekarang. Tempat-tempat jauh itu mungkin tidak akan mengubah jiwamu, tetapi tentu mereka telah mengubah caramu melihat segala sesuatu.”

Dan, sudut pandang kita turut meluas…

Pulang adalah bagian yang tidak terpisahkan dari perjalanan. Saat pulang dari perjalanan panjang, seharusnya kita lebih mengenal diri dan lingkungan dan melakukan refleksi diri secara lebih mendalam.

 

Pada akhirnya, saya iseng membayangkan. Jika saat itu Agustinus tidak out of the box dan hanya melakukan perjalanan ke negeri-negeri maju yang ayem tentrem, apakah pengalamannya akan sewarna-warni sekarang? Mungkin seorang Agustinus harus bersyukur, ia telah membuat pilihan tepat untuk berkelana bebas. Itu benar-benar telah membuatnya kaya.

Karena pada dasarnya, kekayaan sejati adalah pengalaman perjalanan yang tertanam kuat di benak dan meluaskan sudut pandang dalam melihat sesuatu.

 

  

Judul Buku: Jalan Panjang Untuk Pulang

Penulis: Agustinus Wibowo

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tebal: 461 Halaman

Terbit: Desember 2020

ISBN: 978-602-06-4757-906-4

ISBN Digital: 978-602-06-4758-6

Harga: Rp 104.000,- (Pre Order)

 

 

 

 

You Might Also Like

2 comments

  1. Wow, keren ya pengalaman travelling nya sampai ke negara2 konflik seperti Afganistan, yang prosedur nya abnormal, pasti berkesan banget nih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaaa Mbak Lyta, beneran keren. Perjalanan yang tak biasa, yang menumbuhkan pengalaman luar biasa...

      Delete