Memperjuangkan Baitullah

Pada suatu masa, lebih dari 130 tahun yang lalu, jauh sebelum Ibu Pertiwi merdeka.


Ketika Nusantara belum memiliki data statistik tentang jumlah jemaah haji yang diarsipkan secara rapi. Ketika itu, segenap perjuangan untuk berhaji dikerahkan. Meskipun pengetahuan tentang agama terbatas, masih tercampur-campur dengan mitos dan tradisi.


Ketika belum ada sistem tabungan haji. Jumlah uang yang diperlukan sangat tinggi. Jemaah tidak saja harus membayar ongkos jalan dan berbagai ongkos di tanah haram, tetapi harus berbekal ongkos hidup selama setahun lebih. Enam bulan untuk berangkat, enam bulan untuk kembali.



Pelabuhan Jeddah
Pelabuhan Jeddah yang pada masanya menjadi tempat kedatangan kapal-kapal jemaah haji

Bahaya di perjalanan pun mengintai. Jemaah berada dalam pelayaran, terombang-ambing di lautan lepas. Kondisi hidup di kapal luar biasa buruk, karena yang digunakan bukan kapal penumpang, melainkan kapal barang (kargo). Jemaah diberi tempat dalam ruang gudang (palka), masing-masing 1 atau 1.5 m2. Bayangkan bagaimana aktivitas tidur, mandi, buang air, atau memasak dilakukan dengan berdempet-dempetan seperti itu. Sungguh, itu bukan perjuangan yang mudah.


Dalam perjalanan yang serba susah itu, para jemaah masih menghadapi bahaya karam, diserang badai atau perompak. Bisa dikatakan, berani berhaji berarti berani tak kembali kepada negeri. Segalanya bisa terjadi, menimpa siapa saja.


Ketika sudah tiba di tanah Arab, bahaya tidak kurang banyak: angin ribut di gurun pasir, sungai banjir, serangan berbagai penyakit, tersesat di jalan, dan pemerasan yang dilakukan oleh suku Badui. Kelelahan dan kehabisan uang dalam perjalanan panjang, tak menutup kemungkinan bahwa jemaah pada akhirnya meminjam uang warga setempat atau bahkan menjadi pekerja. Ketika menjalankan ritual haji, sebagian besar jemaah tidak mengetahui rukun, kewajiban dan sunah haji. Fasilitas yang disediakan pun masih minim. Tenda-tenda digelar seadanya. Berani berhaji berarti berani tidur dengan alas pasir beratapkan langit.



Gurun Pasir Saudi Arabia
Gurun pasir Saudi Arabia yang mengajarkan ketangguhan

Kini, ketika dunia sudah sedemikian modernnya. Ketika ilmu pengetahuan sudah sedemikian majunya. Ketika pendidikan agama telah diajarkan secara merata. Ketika perjalanan Indonesia-Arab Saudi bisa ditempuh hanya dalam waktu setengah hari saja. Ketika penginapan untuk jemaah haji sudah begitu nyaman. Kebutuhan makanan dan minuman tercukupi, akomodasi pun memadai. Alhamdulillah untuk segala kemudahan yang ada.


Apakah di tengah-tengah kemudahan itu masih terselip rintangan-rintangan?


Iya. Masih ada, dalam wujud yang berbeda.


Betapa ada orang-orang yang begitu menginginkan berhaji tetapi terkendala biaya atau kondisi kesehatan. Sementara ada orang-orang yang berkecukupan bahkan berlebih, belum terketuk hatinya untuk memenuhi panggilan-Nya.


Betapa, masih ada oknum travel haji yang melakukan penipuan terhadap jemaahnya. Yang ketika segala sesuatunya terlihat beres di tanah air, ketika masuk tanah haram tertolak perihal visa yang bermasalah. Ada pula oknum pemerintah yang menggelapkan dana abadi umat, untuk kepentingan yang entah.


Betapa semakin maju peradaban dunia, semakin mengglobal, semakin bertambah jenis penyakit dan virus yang membawanya. Wabah dan pandemi selalu ada dari masa ke masa. Tak peduli walaupun kualitas hidup dan tingkat kesehatan lebih membaik. Makhluk-makhluk tak kasat mata itu bermutasi dengan cara-Nya sesuai masanya.



Arafah
Arafah masa kini, yang telah banyak bebenah

Ketika pandemi Covid-19 menghantam dunia, sudah hampir tiga tahun ini, secara langsung berdampak pula pada daftar antrean haji. Kuota membengkak, estimasi tahun keberangkatan haji reguler semakin mengerikan. Bisa dibayangkan, ada antrean yang lamanya melampaui rata-rata usia manusia. Bisa menunaikan haji sekali seumur hidup, adalah anugerah yang tak terkira berharganya. Sementara pilihan keberangkatan lainnya yang lebih cepat, biayanya tak kalah mengerikan. Dan kepastian keberangkatannya pun cukup untuk membuat jantung berdebar-debar tak karuan.


Setiap masa ada tantangannya. Namun, bukankah Allah telah menjanjikan bahwa di setiap kesulitan, akan ada kemudahan yang menyisipinya, sepanjang ikhtiar mengiringinya? Perjuangan untuk mencapai Baitullah, meskipun tidak mudah, tetap harus terus diperjuangkan selama hayat masih dikandung badan. Bukan karena pengampunan dosa atau janji surga. Namun, nilai perjuangan seorang hamba untuk menjalankan perintah-Nya tanpa berharap apa-apa, hanya karena patuh tanpa tendensi apa pun, nikmat bahagianya melampaui nikmat yang tak teraih angan-angan manusia.


Duhai, semoga kita semua diberikan berkah rezeki, kesehatan, dan usia untuk dapat berkesempatan menggenapkan rukun islam. Menjejak tiap jengkal tanah haram, menjalankan setiap ritualnya, dan merasakan kelegaan atasnya. Dan mudah-mudahan Allah pun ridha atas penciptaan kita sebagai manusia, khalifah di bumi-Nya.



Baitullah Mekkah
Baitullah yang senantiasa diperjuangkan

Semoga, semoga, nama kita telah sedikit tersangkut walau lirih, saat Nabi Ibrahim menyeru sekalian manusia untuk berhaji, ribuan tahun lalu.


Dan (ingatlah) ketika Kami tempatkan Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), “Janganlah engkau menyekutukan Aku dengan apa pun dan sucikanlah rumah-Ku bagi orang-orang yang tawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang rukuk dan sujud. Dan berserulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh (QS Al Hajj: 26-27)


Aamiin Ya Rabbal 'Alamin.


Referensi buku:


Naik Haji di Masa Silam Tahun 1482-1890 

(Kepustakaan Populer Gramedia, November 2013)

 

 

You Might Also Like

No comments