Review Rihlah - Ibnu Bathuthah

Dulu saya membayangkan membaca Rihlah sambil melakukan perjalanan-perjalanan supaya aura safar dan lawatannya makin kental. Nyatanya, ketika melakukan perjalanan, saya lebih suka menikmati suasana, entah alam, hiruk pikuk jalan, atau interaksi sosialnya. Saya tidak bisa menikmati membaca buku tebal di perjalanan. Jadinya, saya butuh waktu lama untuk menyelesaikan membaca Rihlah, yang sebelumnya hanya dibaca sepotong-sepotong dalam tiap perjalanan singkat.

Review Rihlah - Ibnu Bathuthah


Rihlah adalah karya monumental Ibnu Bathuthah, yang memiliki nama asli Muhammad bin Muhammad bin Ibrahim Al-Lawati At-Thanji. Rihlah tidak ditulis sendiri, tetapi didiktekan kepada Ibnu Juzai Al Kalbi, atas arahan dari Sultan Abu Inan (penguasa Maroko saat itu) ketika Ibnu Bathuthah kembali ke Maroko, setelah melakukan pengembaraan selama kurang lebih 27 tahun.

Ibnu Bathuthah adalah seorang cendekiawan, hakim, penjelajah sekaligus pengamat yang lahir di kota Thanjah (Tangier) Moroko pada tahun 1304 Masehi pada masa dinasti Marin. Dia memulai perjalanan keliling dunia pada tahun 1325, atau sekitar tahun 700-an Hijriah, ketika usianya menginjak 21 tahun. Perjalanan itu tercatat mengelilingi 44 negara (dalam peradaban modern).

Perjalanan Ibnu Bathuthah dimulai dari Moroko, berangkat seorang diri meninggalkan keluarganya menuju Mesir. Dalam perjalanan selanjutnya, dia bergabung dengan kafilah-kafilah untuk menghindarkannya dari gangguan penjahat atau perampok. Keinginan utamanya adalah mencapai Hijaz (sekarang Saudi Arabia) untuk melaksanakan ibadah haji. Dia singgah di negeri Syam (sekarang Palestina, Jordania, Lebanon, dan Syiria) hingga akhirnya mencapai Madinah dan Mekkah. Setelah berhaji, dia melanjutkan perjalanan menyusuri negeri-negeri terutama yang berada di bawah daulat Islam. Kemudian bolak-balik sampai melaksanakan haji tiga kali, lalu kembali bertualang.

Catatan perjalanan Ibnu Bathuthah menjadi salah satu rujukan ilmu geografi dan sosiologi. Dalam setiap tempat yang disinggahi atau menetap sementara, Ibnu Bathuthah mencatat mengenai budaya, adat-istiadat, falsafah, hingga sistem politik dan hierarki sosialnya. Bahkan di beberapa tempat, dia menikah, menjadi hakim, serta utusan penguasa.

Ketika melewati tanah Syam melalui kota Gaza, Al Kahlil, Al Quds, Asqalah, Ramlah dan Nablus, Ibnu Bathuthah mengagumi dan mengggambarkan bahwa tanah Syam merupakan tanah para nabi yang indah dan sejahtera. Gaza digambarkan sebagai wilayah yang luas, gedungnya banyak, serta pasarnya bersih dan bagus. Gaza dikelilingi dengan tembok-tembok dan memiliki masjid yang sangat serasi, dengan mimbarnya terbuat dari marmer putih. Nablus digambarkan sebagai kota yang menghasilkan buah zaitun dan semangka yang sangat segar. Akka, yang saat itu hancur, sebelumnya menjadi kastil pertahanan bagi bangsa Eropa di wilayah Syam dan menjadi tempat berlabuh kapal-kapalnya. Bagi Eropa, Akka sama pentingnya dengan Konstantinopel yang Agung (saat ini Istanbul).

Damaskus digambarkan sebagai kota yang keindahannya mengungguli kota-kota lain. Ibnu Bathuthah mengutip perkataan Abu Al Husein bin Jabir untuk melukiskannya, “Damaskus adalah surganya Timur, tempat terbitnya cahaya yang cemerlang. Ia adalah tujuan akhir pencarian kita tentang informasi dunia Islam.. “ Pusatnya Damaskus adalah Masjid Bani Umayyah yang begitu hidup dengan madrasahnya, dengan banyak imam, guru, dan qadhi.

Review Rihlah - Ibnu Bathuthah
Peta Jelajah Ibnu Bathuthah
(Sumber: www.researchgate.net)

Mekkah dijabarkan sebagai tempat yang dikelilingi gunung-gunung. Penduduknya sangat menghargai tamu dan suka memberi makanan. Mereka menjaga kebersihan, tampil rapi dan harum. Saat itu penduduk Mekkah memiliki kebiasaan makan roti sekali sehari selepas ashar. Jika siang ingin makan, hanya mengonsumsi kurma. Kebiasaan ini membuat badan mereka sehat dan jarang sakit.

Ketika menceritakan negeri-negeri, Ibnu Bathuthah juga memaparkan tentang para pemimpinnya yang rata-rata begitu bijaksana, adil, dan dermawan. Tentang penghargaan yang istimewa pada tamu-tamu yang datang dari negeri jauh. Sebuah kisah yang terasa utopia bagi saya. Ketika membacanya, saya seperti dilemparkan pada sebuah dimensi lain. Sesuatu yang sepertinya mustahil dirasakan pada era modern ini.

Lebih dari 100 halaman Rihlah menceritakan tentang masa tinggal Ibnu Bathuthah di Delhi, India. Dia menetap lama karena diangkat sebagai hakim hingga akhirnya ingin melarikan diri karena terbentur kebiasaan dan adat istiadat yang tidak disetujuinya. Dia juga menceritakan tentang pergantian sultan di India yang sarat dengan pertumpahan darah sesama saudara. Dalam pelariannya dari Delhi, Ibnu Bathuthah mengalami serangkaian kecelakaan dan singgah di Maladewa.

Sebelum melanjutkan misinya ke Cina, Ibnu Bathuthah singgah di Nusantara (saat itu orang-orang Arab menyebutnya sebagai Jawa), tepatnya di Samudera Pasai (sekarang Aceh) dan diterima dengan sangat baik oleh Sultan yang saat itu berkuasa, Sultan Malik Azh-Zhahir. Ibnu Bathuthah menjelaskan bahwa Kerajaan Samudera Pasai adalah kerajaan Islam pertama yang berdiri di tanah Melayu, yang telah memiliki peradaban dan hubungan luar negeri yang baik. 

Saya tidak tahu, apakah buku terbitan Pustaka Al Kautsar ini menerjemahkan Rihlah dengan lengkap atau ada beberapa bagian yang dihapus. Sependek pengetahuan saya, Rihlah juga menceritakan tentang perjalanan Ibnu Bathuthah sampai ke Spanyol dan kemudian kembali lagi ke Maroko. Namun saya tidak menemukan tentang kisah itu. Bagian tentang Cina juga tidak terlalu banyak dituturkan. Padahal, jujur, bagian Cina ini adalah salah satu pemantik penasaran saya membaca Rihlah. Frase ‘Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina’ adalah penguatnya, hehehe... Atau mungkin saya terlewat, mengingat nama-nama negara atau kota yang digunakan saat itu berbeda dengan yang sekarang. Entahlah, mungkin saya perlu mencari Rihlah keluaran penerbit lainnya untuk memastikan.

Review Rihlah - Ibnu Bathuthah
Tentang Gaza - Ibnu Bathuthah

Selain banyak dipuji, Rihlah juga menuai kritik yang tak sedikit. Banyak sejarawan yang meragukan keaslian cerita atau tempat-tempat yang pernah dijelajahi oleh Ibnu Bathuthah. Hal itu tentu saja tidak bisa dipungkiri. Dalam perjalannnya, Ibnu Bathuthah banyak dibantu para penguasa yang menyediakan sarana, transportasi, dan aneka pelayanan istimewa lainnya, sehingga subyektivitasnya menceritakan tentang sesuatu pasti menjadi besar. Apalagi Ibnu Bathuthah juga seorang sufi, yang telah banyak mendengarkan cerita-cerita dramatis seputar tokoh-tokoh yang dikaguminya. Sedikit banyak, faktor itu pasti juga memengaruhi cara berpikirnya.

Di luar segala kritik yang menyertai Rihlah, karya ini tetap perlu diapresiasi. Bahwa sebagai Muslim patut berbangga memiliki seorang cendekiawan sekaligus penjelajah yang tak kalah hebatnya dari seorang Marco Polo atau Colombus. Catatan Ibnu Bathuthah adalah renungan lintas abad mengenai perkembangan sistem politik, pemerintahan, diplomasi, filsafat, sosial, ekonomi, dan budaya yang masih relevan sampai sekarang.

Judul            : Rihlah
Penulis        : Ibnu Bathuthah
ISBN             : 9789795925835
Tebal             : 610 Halaman
Penerbit     : Pustaka Al Kautsar

***

Dalam rangka decluttering buku, saya menjual buku-buku yang telah selesai saya baca dengan harga lebih murah di sini: Alitera Books 

Buku dijamin original. Ada koleksi buku baru dan preloved.

You Might Also Like

No comments