Review No One Is Too Small to Make a Difference - Greta Thunberg

Sepanjang tahun 2018-2019, nama Greta Thunberg banyak menghiasi headline media. Aksinya viral ke seluruh dunia. Bayangkan, seorang gadis lima belas tahun mogok sekolah demi berdemonstrasi sendirian di depan gedung parlemen Swedia setiap hari selama tiga minggu pada jam sekolah. Apa tuntutannya? Pemerintah Swedia harus serius menangani krisis iklim!

Mengapa Greta begitu vokal mengenai krisis iklim? Ternyata ceritanya panjang! Dan bagi saya, Greta Thunberg adalah sebuah anomali, seolah-olah dia datang dari masa depan dan mengetuk pintu rumah kita, lalu ‘menampar’ kita atas kelalaian dan ketidakpedulian kita terhadap perubahan iklim.

Review No One Is Too Small to Make a Difference

Empat tahun sebelumnya, Greta pernah membaca dan menonton tayangan mengenai krisis iklim. Greta mengingat segalanya dan tidak bisa melupakan. Semakin mempelajari bahwa perubahan iklim akan berefek buruk pada masa depan generasinya, Greta pun mengalami depresi, berhenti makan dan berbicara. Kemudian Greta didiagnosis mengidap asperger. Namun, asperger membuatnya spesial, dia menyebutnya sebagai super power. Greta pun pulih dari depresi dan semakin fokus pada isu krisis iklim.

Pada bulan Mei 2018 Greta menjadi salah satu pemenang lomba karya tulis tentang lingkungan yang diselenggarakan oleh Svenska Dagbladet, sebuah koran Swedia. Sesudah itu dia banyak berkomunikasi dengan aktivis lingkungan untuk mencari ide-ide pada proyek krisis iklim. Mogok sekolah dan berdemonstrasi adalah salah satu bentuk ide tersebut. Aksinya menginspirasi siswa lainnya, dan mendukung dalam gerakan Friday for Future. Setelahnya, Greta kerap diundang dalam diskusi dan forum internasional mengenai krisis iklim.

Buku ini merupakan rangkuman pidato Greta pada acara-acara bertaraf internasional, seperti pawai iklim pada September 2018 di Stockholm Swedia, Deklarasi Pemberontakan atas Kepunahan di London Inggris pada Oktober 2018, Konvensi Perubahan Iklim PBB di Katowice Polandia pada Desember 2018, Forum Ekonomi Dunia di Davos Swiss pada Januari 2019, Komite Ekonomi dan Sosial Eropa di Brussels pada Februari 2019, Penghargaan Film dan TV Goldene Kamera di Berlin pada Maret 2019, dan Perlemen Eropa di Strasbourg pada April 2019.

Dalam pidato-pidatonya, Greta tidak menuntut banyak. Sebagai anak-anak saat itu, dia hanya mau para pemimpin dunia bertindak konkrit secara konsisten untuk memenuhi target hasil Perjanjian Paris dan laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change).

Dalam laporan IPCC, kurang lebih sebelas tahun dari 2018, (berarti sekitar tahun 2030) kita akan berada dalam posisi di mana kita memicu reaksi berantai yang tidak dapat diubah di luar kendali manusia. Tindakan diperlukan untuk pengurangan emisi CO2 sebanyak 20% pada tahun 2030, termasuk gas metana yang sangat kuat dari lapisan es Kutub Utara yang mencair. Usaha yang dilakukan selama ini secara global, belum cukup untuk menjaga pemanasan global tetap di bawah 1.5 derajat celcius. Greta kerap mengkritisi para politisi telah menyia-nyiakan waktu berpuluh tahun dengan pengabaian dan kelambanan atas penanganan krisis iklim.

Pihak-pihak yang gerah pada aksinya menuduh Greta mempromosikan pembolosan, menyebut anak-anak sebagai boneka yang tidak bisa berpikir untuk dirinya sendiri. Semua itu dilakukan untuk menghilangkan fokus krisis iklim dari berbagai topik pembicaraan. Greta menanggapi dengan yakin bahwa para pemimpin dan politisi itu tidak akan bisa memenangkan pertarungan dalam krisis iklim, dan banyak PR yang belum mereka kerjakan. 

Greta mengharapkan sistem baru dalam penanganan krisis iklim, termasuk cara berpikir dan sistem politik, serta menyindir para politisi yang hanya bersaing untuk memenangkan kekuasaan. Greta ingin semua orang berhenti bersaing, mulai bekerja sama serta berbagi sumberdaya planet dengan cara yang adil. Semua penduduk bumi perlu melindungi biosfer, udara, lautan, tanah dan hutan.

Menurut Greta, para pemimpin dunia selalu mengatakan bahwa perubahan iklim merupakan ancaman eksistensial dan isu yang paling penting dari semuanya. Namun mereka hanya melanjutkan seperti sebelumnya. Bagi Greta, jika emisi harus berhenti, maka kita harus menghentikan emisi, hanya ada hitam atau putih. Tidak ada wilayah abu-abu ketika datang masanya untuk bertahan hidup. 

Beberapa orang mengatakan bahwa Greta harus belajar untuk menjadi seorang ilmuwan iklim sehingga dia bisa ‘memecahkan krisis iklim’. Namun menurut Greta, krisis iklim sudah terpecahkan. Semua fakta dan solusi tersedia. Yang perlu dilakukan adalah bangun dan mengubahnya.

Greta juga mempertanyakan urgensi belajar ketika tak ada lagi ruang untuk masa depan, ketika tidak seorang pun melakukan sesuatu untuk menyelamatkan masa depan itu. Dan apa gunanya mempelajari fakta dalam sistem pendidikan ketika fakta terpenting yang diberikan oleh ilmu pengetahuan dari sistem pendidikan yang sama jelas-jelas tak berarti apa-apa bagi politisi dan masyarakat?

Itu semua adalah sindirian Greta untuk orang-orang dewasa yang mengatakan, “Kami berhutang kepada generasi muda untuk memberi mereka harapan.”

Review No One Is Too Small to Make a Difference

Greta terus konsisten menyuarakan krisis iklim. Keluar masuk penjara dan membayar denda karena dianggap menjadi provokator dalam berbagai demonstrasi sudah biasa baginya. Pengaruhnya juga berbading lurus pada penghargaan-penghargaan yang diraihnya. Belum mulai kuliah saja, Greta sudah mendapat gelar doctor honoris causa sebanyak tiga kali. Bahkan namanya diabadikan menjadi nama ilmiah beberapa spesies hewan yang baru ditemukan. Honor dari penghargaan-penghargaan yang diterimanya, sebagian besar didonasikan untuk membiayai yayasan dan proyek terkait iklim.

Dalam beberapa kesempatan, Greta selalu berharap untuk semua orang agar merasa ‘panik’ atas krisis iklim, dengan analogi jika rumah kita kebakaran. Seharusnya kita sepanik itu atas perubahan iklim. Dan seperti judul buku ini, sekecil apa pun aksi yang kita lakukan, itu akan membuat perubahan.

Greta masih bersinar menghiasi berbagai media, sampai terjadi genosida di Gaza. Greta menggabungkan isu krisis iklim dengan genosida Gaza dalam kampanyenya. Media-media Barat mulai meninggalkannya. Sebuah standar ganda! 

Menurut Greta, tidak ada keadilan iklim tanpa hak-hak asasi manusia. Aksinya berlanjut dengan bergabung dalam misi Freedom Flotilla Coalition, sebuah misi kemanusiaan untuk mengirimkan bantuan lewat laut. Keberaniannya turut serta mengarungi lautan Mediterania mengundang decak kagum. Pun ketika penjajah zionis membajak misinya berkali-kali, Greta tetap tak gentar. 

Belakangan seorang presiden negara yang konon paling digdaya menyindirnya, bahwa Greta tak lebih dari perempuan muda yang penuh amarah. Greta menanggapinya santai dan menyatakan bahwa dunia membutuhkan lebih banyak lagi perempuan-perempuan muda yang marah atas genosida yang sedang terjadi. Dan faktanya, mereka berdua sebelumnya kerap sindir-menyindir di media terkait iklim. Jadi mungkin Greta sudah menganggap hal itu sebagai sesuatu yang konyol dan remeh.

Dan jika ada yang heran mengapa Greta tidak takut sedikit pun ketika mengikuti misi mengarungi lautan ke Gaza, adalah karena pengalamannya bertahun-tahun sebelumnya. Greta menolak bepergian dengan pesawat. Dalam acara-acara terkait iklim yang harus diikutinya, dia selalu menggunakan kereta atau kapal laut. Bahkan untuk mencapai New York, Greta menaiki kapal bersama ayahnya dari Inggris selama dua minggu. Menurutnya, semakin besar jejak karbon yang ditinggalkan, semakin besar tanggung jawab moralnya.

Mungkin hal itu terdengar konyol, zaman serba canggih begini menghindari naik pesawat terbang. Namun, itulah yang dilakukan Greta. Mungkin bagi kita hanya terlihat kecil dan tidak berdampak, tetapi sekali lagi, sesuai dengan judul buku ini, tidak ada yang kecil untuk membuat perubahan. Karena semuanya dimulai dari diri sendiri dengan konsisten. Greta telah membuktikannya!


You Might Also Like

No comments