“Antologi Sebagai
Batu Loncatan, Why Not?”
Sebagai seorang writer atau writer wanna be, tentu akan sangat membahagiakan jika kita melihat
buku hasil karya kita mejeng di toko buku, apalagi dengan nama kita sendiri
tertera di bawah judul karya tersebut. Bukan dengan embel-embel dkk. Tapi untuk
seorang penulis pemula, rasanya itu masih sulit. Disamping belum begitu banyak
mengenal link-link penerbit, dibutuhkan
‘nafas panjang’ untuk membuat sebuah karya utuh berjudul buku solo.
Sebagai sarana
untuk mengasah pena, banyak alternatif yang bisa dipilih, salah satunya dengan
menulis buku secara keroyokan atau antologi, yang kemarin-kemarin booming di media sosial. Sebenarnya, apa
sih antologi itu? Menurut KBBI, antologi merupakan kumpulan karya tulis pilihan
dari seorang atau beberapa orang pengarang. Kalau jaman dahulu, kita mengenal
antologi puisi atau cerpen dari seorang atau beberapa orang sastrawan. Dalam
perkembangannya, kisah-kisah true storypun
bisa dibukukan dalam bentuk antologi. Dipelopori oleh duo Jack Canfield dan
Mark Victor Hansen yang sukses dengan seri Chicken
Soup for the soulnya. Akhirnya banyak yang mengikuti tren itu,
beramai-ramai membuat buku dengan konsep yang serupa. Sebut saja a cup of
coffee, a cup of tea, a sweet candy dan lain-lain.
Banyak yang
memandang sebelah mata fenomena menulis keroyokan ini. Ada yang berpendapat,
seseorang baru akan disebut penulis jika sudah menghasilkan karya utuh berupa
buku sendiri. Ada pula yang menganggap bahwa menulis keroyokan itu sangat tidak
keren, tidak membanggakan. Karena nama kita hanya tampak di naskah bagian
dalam, bukan di cover depan sebuah
buku. Apalagi kalau buku tersebut hanya diterbitkan secara indie. Tambah sangat tidak keren, karena hanya dijual online. Sah-sah aja ya orang mau
berpendapat bagaimana.
Kalau pendapat
saya pribadi sih, nggak ada salahnya kalo kita mencoba peruntungan dari
antologi sebagai langkah awal dalam meniti jagad kepenulisan. Beberapa orang
memilih media sebagai acuan apakah tulisannya sudah ‘layak konsumsi’ atau
belum. Ada juga yang mengikuti berbagai kompetisi menulis baik di dunia nyata
maupun dunia maya. Ini hanya, tentang sebuah proses. Intinya tetap menulis kan?
Just sharing, antologi pertama saya
hanya dijual online dan saya harus membeli sendiri buku tersebut serta tidak
mendapat royalti, karena hasil penjualan buku tersebut seluruhnya untuk
disumbangkan kepada para korban bencana. Apakah saya kecewa? Tidak! Justru ada
kepuasan tersendiri ketika memegang buku tersebut. Yah, namanya juga first antology, sensasinya pasti bedalah
jika dibandingkan dengan yang sudah pernah memiliki karya sebelumnya. Ternyata,
menulis tidak sekedar untuk materi. Ada nilai yang lebih berharga, dan itu
letaknya di hati. Paling tidak, tulisan-tulisan yang terkumpul bisa menjadi
semacam prasasti untuk hidup kita kelak, warisan bagi anak cucu. Silahkan
dihitung, kira-kira umur dan tulisan kita akan lebih panjang mana? ^_^
Bagi saya,
mengikuti antologi-antologi semacam itu berarti menambah pengetahuan. Coba cek, ternyata nilai positifnya banyak
kok! Pertama, sebagai tolok ukur tulisan kita. Apakah tulisan kita sudah
memenuhi selera penyelenggara event
yang bermacam-macam itu. Kalau tulisan kita lolos, ada kemungkinan bahwa
tulisan kita termasuk asyik (menurut versi mereka). Semakin banyak yang lolos,
kita semakin terlatih (jika temanya beda-beda). Kedua, khusus untuk true story, bisa untuk mengabadikan
cerita atau kisah dengan orang-orang di sekitar kita. Tentu, ini bernilai
‘sejarah’. Bukti autentik yang berupa buku akan lebih mudah disimpan. Bandingkan
dengan tulisan kita yang dimuat di media, rada ribet kan kalau mau
mengarsipkan? Ini bukan berarti mendiskreditkan media lho! Menulislah untuk
media, itu sangat-sangat dianjurkan! Jika dimuat, itu sangat keren! Eh ada lho,
yang hanya menulis untuk media. Contohnya, pak dosen saya. Tulisannya sering
nongol di media, tapi beliau tak pernah berfikir untuk bikin buku. Kepuasannya
memang di media saja. Ini tergantung kemantapan pribadi masing-masing ya.
Ketiga, menebar
jaring silaturahim. Kalau sudah satu buku, biasanya sesama kontributor menjadi
akrab dan saling tukar pengalaman masing-masing. Keempat, biasanya kita juga
jadi kenal dengan sang penyusun, dan sudah pastilah dia yang berurusan dengan
penerbit. Dari situ, kita bisa belajar mengenai link-link penerbit yang dia punya. Siapa tahu, ketika kita sudah
siap dengan naskah utuh sendiri, link-link
penerbit tersebut bisa berguna untuk kita yang masih awam. ^_*
So.. antologi itu
tidak seburuk seperti yang dipersepsikan bukan? Sah-sah aja kok hukumnya,
asaaal.. jangan keterusan. Ada saatnya kita harus berdiri di atas kaki sendiri.
Segeralah bertobat jika kita sudah mengantongi banyak antologi! Saatnya bersolo
karir, hehe.. (ada yang tertampar? :D) Kita boleh bermimpi, karena mimpi itu
bisa menjadi semacam cambuk untuk terus memotivasi diri. Tapi mimpinya yang
wajar-wajar aja ya. Nggak usah muluk-muluk. Misalnya, kita menginginkan menjadi
seperti Kartini yang namanya harum sepanjang sejarah, Merry Riana yang sukses
dengan kebebasan finansialnya, Dee yang buku-bukunya selalu best seller dan menempati rak eksklusif
di tiap toko buku atau Tere Liye yang buku-bukunya juga best seller, selalu cetak ulang dan beberapa difilmkan. Kita,
mereka berbeda. Intinya, tidak usahlah kita membandingkan kesuksesan siapa saja,
tidak akan ada habisnya. Be our selves
aja, karena diri kita tuh unik. Kita punya jalan dan pencapaian masing-masing. Syukur-syukur
kalau bisa melebihi mereka, dengan kerja keras, segala sesuatu mungkin saja
terjadi kan? Lagian, latar belakang tiap orang itu kan juga beda-beda.
Seseorang yang lahir dari keluarga penulis misalnya, tentu pencapaiannya akan
berbeda dengan seseorang yang terlahir dari keluarga yang buta huruf. Kalau
bisa melebihi atau minimal menyamai, baru itu disebut luar biasa! Dan yang
paling penting adalah menjaga niat untuk tetap konsisten di jalan ini. Itu
kuncinya. Tonjok saja mood yang setiap saat bisa berubah dan mempengaruhi
kenyamanan kita.
Menulis untuk
media, lomba atau antologi, semuanya baik untuk terus melatih keluwesan jari
kita. Sebagai bekal untuk menyiapkan amunisi, guna ditembakkan ke sasaran utama
kita : Debut solo. Dibutuhkan kedisiplinan yang tinggi (malu, nunjuk muka ndiri
:D) serta semangat dan motivasi diri yang selalu terjaga. Karena ketika kita
mulai menulis solo, kita harus terjun total mencurahkan segenap hati dan
pikiran, tidak bisa setengah-setengah. Ingat, ketika karya kita dilempar ke
pasaran, kita harus siap dengan segala kritik yang mungkin akan kita terima
sebagai konsekuensinya. Banyak orang-orang pintar di luar sana. So, biarkan
saja orang lain dengan pendapatnya masing-masing. Tetap semangat nulis, berawal
dari apapun itu. Dari antologi, merambah ke buku solo, itu harapannya. Dan,
Bukankah perjalanan seribu mil juga harus dimulai dari satu langkah?
Curcol ini lebih untuk menyemangati diri sendiri :D
aihh, kwereeen kakak...
ReplyDeleteQiqiqi :D
ReplyDeletewah,,, kayaknya bolek mulai lirik ke arah situ tuh...
ReplyDeleteAyo mbak Siti, semangat bersolo karir :)
ReplyDeleteSeneng banget baca postingan ini, yang, paling gak sedikit membenarkan ada baiknya ikutan menulis untuk antologi. Kita sependapat keknya, yaitu untuk mengasah kepiawaian dalam menulis, ya, salah satu ajangnya, ya, melalui menulis antologi itu. Jadi ikutan menulis antologi, bukan karena ingin punya buku banyak, hehe... Karena ada yang berpendapat yang ikutan menulis antologi itu "kurang cerdas."
ReplyDeleteMakasih Mbak Yati, uda mampir di postingan yang entah sejak zaman kapan ini :D
DeleteIni buat penyemangat diri waktu itu Mbak... :)
Tos yak!