Apa yang kamu rasakan ketika mendengar batik diklaim sebagai budaya negara tetangga kita,
Malaysia? Sedih, marah, geram? Tentu, kita sebagai bangsa yang memang empunya batik merasa terluka atas pernyataan sepihak itu.
Pertanyaannya, kenapa batik bisa sampai
diakui sebagai milik Malaysia? Sudah seberapa besarkah kita menghargai batik? Apakah kita pernah merasa bangga ketika
memakainya? Atau jangan-jangan, kita malah tidak pernah atau jarang memakainya?
Itu pula yang terjadi pada saya.
Jujur, dulu saya jarang sekali memakai batik. Batik
hanya saya pakai ketika menghadiri acara hajatan beberapa anggota keluarga yang
dekat, seperti resepsi pernikahan. Atau, ketika kecil, biasanya saya ikut
mengisi acara HUT kemerdekaan RI dengan menari. Nah, di saat itulah, kostum batik harus dikenakan. Di luar acara-acara seperti
itu, rasanya saya malu dan gengsi untuk memakai batik.
Waktu itu, dalam benak saya, batik adalah pakaian
kampungan, norak dan tidak modis sama sekali. Batik
saya identifikasikan sebagai pakaian orang tua yang kuno dan ketinggalan zaman.
Jangankan memakainya untuk acara santai, untuk acara resmi yang sering saya
hadiri ketika dewasapun, saya lebih memilih memakai baju dari kain sifon,
organdi, semi sutera atau bahan-bahan lainnya, asal bukan batik.
Nah, ternyata ‘tragedi’ klaim-mengklaim batik itu ada hikmahnya juga. Masyarakat kita lalu
beramai-ramai menggunakan batik sebagai
simbol pengakuan hak milik dan
perjuangan mempertahankan harga diri. Banyak designer baju membuat model beraneka macam dari bahan batik, agar lebih mudah diterima dan akrab dengan
masyarakat. Banyak juga ide kreatif yang kemudian muncul untuk memodifikasi batik, seperti tas, sepatu, sendal, selimut, mukena dan lainnya yang semuanya
memakai bahan dasar batik. Bahkan pemerintah menetapkan tanggal 4
oktober sebagai hari batik nasional. Beberapa instansi pemerintahpun turut berpartisipasi
mewajibkan pegawainya untuk berbatik di hari-hari
tertentu. Dan usaha itu tidak sia-sia. Pada tanggal 2
oktober 2009, UNESCO menyatakan bahwa batik
merupakan budaya asli Indonesia.
Tas berbahan batik (Foto, koleksi www.berbatik.com) |
Berawal dari situ, sayapun ikut terkena ‘virus’ berbatik. Saya mulai sedikit melirik dan berfikir
betapa selama ini saya sebegitu keterlaluannya telah ‘memandang rendah’ batik. Sebagai orang Jawa yang tempat tinggalnya dekat
dengan sentra batik Sragen dan tidak terlalu jauh dari Solo, Yogyakarta dan
Pekalongan (yang notabene sebagai gudangnya batik)
seharusnya dulu saya lebih menghargai dan mengakrabi batik
dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menebus ‘dosa’dosa’ itu, sayapun mulai berburu
batik. Tiap kali belanja
baju, tak lupa menyempatkan diri mampir ke toko batik. Ternyata, setelah dimodifikasi sedemikian rupa, baju-baju batikpun tak kalah indahnya dari baju berbahan
mahal lainnya. Saya memang tergolong orang yang ribet dalam berbelanja baju, tak terkecuali batik. Ribet dalam arti, ketika seseorang berkata bahwa
model yang itu bagus, belum tentu anggapan saya seperti itu. Pun sebaliknya,
ketika saya berkata bahwa model yang ini pas dan pantas buat saya, belum tentu
orang akan menganggap sama. Dan biasanya saya tidak terlalu peduli dengan
anggapan orang. Pilihan saya selalu jatuh pada model-model yang simpel dan
berwarna natural. Asal saya nyaman memakainya, saya pasti menyukainya, meskipun
kadang ada beberapa orang yang berkomentar kalau modelnya terlalu sederhana dan
sedikit ketinggalan zaman. Saya tidak mau terlihat norak dengan memakai model
yang terlalu ‘ramai’ yang tidak sesuai dengan kepribadian saya, meskipun itu model
yang up to date sekalipun. Jadilah,
saya selalu lama kalau berbelanja batik, karena kadang model yang tersedia di toko batik atau butik batik tidak sesuai dengan harapan.
Rujak Senthe, motif batik tulis asal Sragen (Foto, koleksi www.berbatik.com) |
Ketika saya tidak menemukan model yang saya sukai di toko batik atau butik batik di daerah saya, biasanya saya browsing
mencari toko batik online. Sekarang ini online shop begitu menjamur di internet. Kemudahan
dalam sekali klik ini, memungkinkan kita untuk berbelanja
dengan berbagai macam pilihan, dalam waktu dan ruang yang tak terbatas. Biasanya,
dari situ, saya mendapatkan model-model batik
yang saya inginkan. Model dan motif batikpun semakin berkembang. Batik
terlihat lebih modern, cantik dan elegan ketika dikombinasikan dengan bahan
lain. Kini, batik tidak melulu
diidentifikasikan sebagai pakaian orang tua, tapi segmentasinya sudah meluas
pada remaja bahkan anak-anak. Dan batik juga
bukan saja sekedar simbol untuk acara-acara resmi, tapi juga tidak menutup
kemungkinan dipakai pada acara santai, mengingat modelnya yang tak lagi mengacu
pada pakem formal.
Baju batik anak (Foto, koleksi www.berbatik.com) |
Motif dan warna batik yang saya suka (Foto, koleksi www.berbatik.com) |
Batik bukan hanya
milik orang Jawa Tengah atau Yogyakarta. Negara kita kaya akan kebudayaan,
begitu juga dengan batik. ada beberapa
daerah di Indonesia yang memiliki tradisi membatik
secara turum-temurun, seperti di Cirebon, Tasikmalaya, Madura, Kalimantan
Tengah dan lain-lain dengan berbagai motif dan corak yang menjadi ciri khasnya
masing-masing. Dari manapun asalnya, batik
adalah akumulasi budaya daerah yang tumbuh menjadi budaya nasional dan menjadi
identitas bangsa yang majemuk. Ada nilai-nilai moral yang bisa kita petik dari
proses pembuatannya, khususnya batik tulis. Meskipun
lebih mahal dari batik cap, batik tulis akan memberikan kepuasan tersendiri kepada
pemakainya. Adanya rasa menghargai para pengrajin, yang menyandarkan hidupnya
dari membatik. Batik
tulis tidak bisa diselesaikan dalam waktu yang singkat. Butuh ketekunan
dalam mengerjakannya. Ketika canting
melukiskan malam pada kain putih polos,
disitulah kita belajar kesabaran. Kalau orang Jawa berkata, “ojo grusa-grusu”. Kita tidak bisa
tergesa-gesa ketika membatik, karena akan
‘melukai’ pola yang sudah ada. Batik dibuat dengan sepenuh cinta oleh
pengrajinnya. Motif atau corak batik adalah
sesuatu yang indah, teratur dan bernilai seni tinggi. Begitupun dengan hidup,
sudah selayaknya kita melukis kehidupan kita dengan corak yang indah, tidak
mencederainya dengan hal-hal yang tidak berguna.
Salah satu pengrajin batik sedang membatik di sebuah toko batik di Yogyakarta (Foto, Koleksi pribadi) |
Sekarang saya sudah tidak malu-malu lagi memakai batik. Saya berniat menambah koleksi batik yang
sudah ada, tidak terbatas pada jenis batik dari
daerah saya sendiri, tapi juga ingin mengumpulkan semua jenis batik dari berbagai daerah di Indonesia. Akan
dimulai dari siapa kalau bukan kita, yang memakai dan memperkenalkan hasil
cipta, rasa dan karsa masyarakat kita sendiri? Saya sudah mantap menyuarakan
slogan, ‘Aku Bangga berbatik’. Nah, kalau
sudah membudaya seperti itu, tentu bangsa lain akan berfikir berkali-kali
ketika akan mengakui sesuatu yang bukan miliknya. Bangga dengan produk sendiri
adalah cerminan rasa nasionalisme.
Kita bangga memakai batik (Foto, koleksi pribadi) |
Cinta akan mengajarkan kita untuk memiliki. Ketika kita sudah
merasa cinta akan budaya, kita akan merasa memiiki (sense of belonging). Dari rasa memiliki itu, kemudian akan tumbuh
rasa bangga dan niat melestarikannya. Dan batik adalah
kebudayaan luhur bangsa Indonesia yang wajib kita lestarikan. Bangga menjadi warga
negara Indonesia, bangga memakai batik!
Apalah artinya kemerdekaan kalau rakyatnya terus mengekor pada
kebudayaan bangsa-bangsa lain. Kita tidak perlu ragu untuk membanggakan
kebudayaan sendiri, seperti yang dipesankan oleh bapak pendidikan sekaligus
menteri pendidikan kita yang pertama , Ki Hajar Dewantara berikut ini : “Kita harus yakin bahwa rakyat kita saat ini
juga sudah memiliki kebudayaan sendiri, yang cukup luhur dan indah, cukup
bernilai dan berderajat menurut ukuran kemanusiaan. Hal ini dapat terjadi
asalkan kita berani mengakui segala puncak-puncak dan sari-sari kebudayaan di
seluruh kepulauan kita sebagai kebudayaan nasional atau kebudayaan Indonesia.”
Mba aniik, aku malah suka banget sama batik. Jangankan acara resmi, nonton film ke mall aja aku pake batik, jalan2 ke pantai pakai batik. Hahaha batik itu kereeen mba :)
ReplyDeleteHiyaaa,ini pst buka dr BaW,smp jeng Windi salah nyebut merek :D
DeleteIya,aku jg pnh ngemall pake celana batik, ke acara2 santai pake blus batik kerut2.. Fleksibel dah batik skrg :)
mbak anik??? binun.xixixi..
Deletekeren tulisannya.aku juga suka batik.tapi cuma 2 biji baju batikku.xixixi
qiqi, gara2 komen2 di BaW nih kayaknya :D
DeleteMama Olkeen, aku punya banyak daster batik, enak aja dipake kalo lagi di rumah.. enteng :)
batik itu cantik, mb anik
ReplyDelete^^
Ini lagi, ayu jg ikut2an salah nyebut merek :D
DeleteIni blognya ayeeee.. *tunjuk jari tinggi2 :O
aku jg suka batik.. terutama sarung, udah jd fashion keseharianku di rumah.. gutlak ya santi.. betewe banner BAW nutupin sebagian postingan tuh.. :( eman.. coba pake yg kecil disidebar aja san..
ReplyDeletegutlak ya.. insyaAllah ikut :)
Udah kupindah di bawah tuh mbak. Ayo mbak Binta ikutan jugaaa.. sama, aku di rumah paling suka pake daster ato babydoll batik. Makasih ya mbak :)
Deletepingin ikutan juga biar saingannya +Santi makin banyak ^_^
ReplyDeleteWish You and We luck...
Wokeeey.. Mari kita berantem eh bersaing dg empat sehat lima sempurna qiqiqi..
ReplyDeletetas batiknya itu bagus deh :)
ReplyDeleteiya, bagus :)
DeleteSaya juga suka pake batik. Paling nggak dua kali dalam seminggu. *ngantor mbak. ;)
ReplyDeletehihi.. makasih ya uda mampir lagi :)
Delete