Sebagian masyarakat Indonesia masih memercayai
klenik. Hal ini juga masih berlaku pada sebagian besar masyarakat di daerah
pedalaman Sumatera Selatan. Mereka meyakini jika ada bola api yang membumbung
di atas atap rumah seseorang, maka orang tersebut dipastikan melakukan praktik
santet. Jika bola api tersebut
menggelinding tak tentu arah, siapa saja yang tersinggahi akan mendapat nasib
buruk. Salah satunya adalah kematian. Mereka lalai, bahwa itu termasuk
perbuatan syirik yang sangat dimurkai oleh Allah.
Kematian adalah salah satu takdir yang pasti
datangnya pada seseorang, tapi hanya Allah Swt saja yang tahu waktu
kedatangannya. Tidak ada seseorangpun di dunia ini yang bisa mempercepat atau
memperlambat kematian. (Halaman 195)
Solasfiana,
nama gadis itu. Ia, ibu dan dua orang adiknya diusir dari dusun Sukarami karena
dituduh melakukan santet. Sungguh, fitnah yang sangat keji untuk mereka. Belum
usai duka mereka karena kematian Aslam (sang ayah) dan Nek Nang Bayumi (sang kakek)
yang tidak jauh jaraknya. Praduga itu ditambah lagi dengan kematian seorang
tetangga. Sementara rezeki anak-anak yatim itu kian bertambah tiap hari. Warga
dusun mengamuk. Mereka menganggap kematian yang beruntun menimpa warga dusun sebagai
tumbal atas limpahan rezeki itu. Bahkan keluarga besar yang diharapkan bisa
melindungi, ternyata malah turut memojokkan mereka.
Wak Hasni seakan tidak peduli dengan derai air
mata Mak Pinah. Dia juga tidak menggubris sama sekali teguran dan protes Mak
Pinah. Prasangka yang bersemayam di dalam dadanya, yang dahulu meretas tumbuh
sebagai tunas kecil yang tidak berdaya di dalam hatinya, kini telah merimbun
menyerupai pohon besar yang memiliki akar yang amat kuat. (Halaman 212)
Dengan hati
hancur, mereka pergi tanpa arah dan tujuan. Meninggalkan dusun berarti menebas
seluruh mimpi dan harapan yang telah mereka bangun bersama sejak kematian sang
ayah. Bagi Solasfiana sendiri, terusir dari dusun berarti terenggut kebahagiaan
masa remajanya yang mulai mekar oleh perasaan cinta. Ada satu nama yang harus
ia relakan untuk dikubur bersama tragedi itu.
Bahkan daun yang pasrah dan tidak memiliki tujuan
ketika gugur dari tangkai pohon, hanya akan berakhir dipermainkan angin sebelum
akhirnya tergilas oleh injakan kaki manusia. (Halaman 320)
Namun mereka
tak kehilangan jati diri. Mereka tidak ingin berakhir sia-sia seperti daun
jatuh yang akhirnya lapuk tak berbekas. Berbekal keyakinan untuk hidup yang
lebih baik, mereka terus berjalan. Harapan mereka, bisa memulai hidup baru di
tanah baru dengan semangat baru, tanpa mengharap belas kasihan orang lain.
Tawaran seorang dermawan yang ingin memberi tumpangan sementara untuk mereka, tidak
serta-merta mereka terima begitu saja. Mereka hanya memilih sebuah kandang
kambing yang tak terpakai lagi untuk ditempati. Di sanalah mereka memulai,
kembali merajut impian yang terserak. Tapi, kesulitan tak berhenti sampai di
situ. Ada banyak ujian, yang hikmahnya semakin memperkaya kualitas hidup
mereka.
Kuasa Allahlah yang membuat kita tergerak untuk
mengambil keputusan menunggu atau bertindak. Apa alasan Allah hingga
menggerakkan kita untuk melakukan sesuatu itu? Hanya Allah yang tahu. Pasti ada
sesuatu yang dalam perhitungan Allah lebih baik jika kita diberikan takdir
seperti itu. (Halaman 382)
Pulang ke
kampung halaman menjadi sesuatu yang dirindukan. Menyusuri kembali jejak yang
telah jauh tertinggal, membuat Solasfiana terkenang akan satu nama yang tetap
ia simpan rapi di dalam hatinya. Masihkah perasaan itu menempati ruang yang
sama ketika insan-insan pendampanya telah berada pada dimensi yang berbeda? Pohon
bungur di tepian sungai Musi itu menjadi saksinya.
Lewat novel
ini, kita bisa menyelami kehidupan masyarakat Sumatera Selatan yang masih tinggal
di rumah-rumah panggung. Aroma kultur terasa begitu kental mewarnainya. Cerita yang diangkat berdasarkan kisah nyata ini
akan mengajarkan pada kita tentang arti bersyukur dan bersabar. Sebuah ujian akan menghantarkan kita pada kehidupan yang lebih
baik.
Judul Buku : Yang Tersimpan di Sudut Hati
Pengarang : Ade Anita
Penerbit : Quanta (imprint Elex Media
Komputindo)
Tebal : xiii + 440 Halaman
ISBN : 9786020221120
Terbit : September 2013
Harga : Rp. 54.800,-
*) Alhamdulillah, dimuat di Koran Jakarta kemarin (edisi 24 September 2013)
*) Alhamdulillah, dimuat di Koran Jakarta kemarin (edisi 24 September 2013)
No comments