Konflik seolah enggan beranjak dari tanah Afghanistan. Sejak meninggalnya pendiri kerajaan Afghanistan, Ahmad Shah Durrani pada
tahun 1772,
perebutan kekuasaan telah menjelma perang saudara berkepanjangan. Suku-suku di Afghanistan hanya bisa bersatu saat mengusir musuh bersama -Uni Soviet- dari tahun 1979 sampai 1989. Sepeninggal Uni Soviet, konflik antar suku yang ingin berkuasa kembali terulang. Pembunuhan,
penganiayaan, penculikan,
perampokan dan pemerkosaan terjadi hampir setiap hari. Bahkan kejahatan itu juga dilakukan oleh aparat mujahidin sendiri. Rakyat sengsara. Gelombang pengungsian besar-besaran terjadi.
Taliban menguasai kabul di tahun 1996 ketika perang saudara
memuncak. Afghanistan menjadi negara termiskin di dunia akibat perang.
Afghanistan semakin ternista ketika pada tahun 2001, tentara Amerika Serikat
dan sekutunya menginvasi dengan dalih melawan teror. Praktis, Afghanistan
terpuruk dalam ketidakamanan, tirani, kejahatan, teror tanpa henti dan
kebiadaban. Jiwa-jiwa yang terkoyak perang sudah tidak terhitung lagi jumlahnya.
Shabana Ahmas, tokoh utama dalam novel ‘Cinta yang Membawaku Pulang’ ini mungkin cukup merepresentasikan situasi dan kondisi saat itu.
Perang telah mencerai-beraikan keluarganya. Ia terpisah dari ayah, adik
perempuan, suami dan anaknya yang masih berusia lima bulan. Hatinya semakin
tersayat saat menyaksikan ibunya diperkosa secara bergantian sebelum meninggal.
Luka yang bekasnya tidak mudah dihapus. Ia menjadi sebatang kara di tanah
kelahirannya sendiri. Tapi selalu ada oase di tengah padang pasir. Shabana
tetap tumbuh dengan kasih sayang. Sepasang suami istri -Yassir dan Farrukhzad-
merawatnya seperti anak sendiri.
Masa yang berlalu tak menyurutkan niat Shabana untuk tetap
menyimpan harapan bersua kembali dengan keluarganya. Berbekal keteguhan hati,
ia berangkat ke Saudi. Ia bertekad
mencari jejak sang ayah, Massoud Kamal. Dan lika-liku perjalanan itupun
dimulai. Ditemani paman, bibi dan dua orang putrinya, mereka menyusuri setiap
jengkal tanah Saudi. Usahanya yang tanpa kenal lelahpun membuahkan hasil.
Samar-samar, keberadaan sang ayah mulai tersingkap. Bahkan tanpa diduga, ia
bertemu dengan suami, putra dan adik kandungnya saat melakukan ibadah melontar Jumrah di Mina. Harapannya semakin
membumbung tinggi.
Tapi kenyataan tak lagi sama. Segalanya telah berubah. Detik-detik selanjutnya, mimpi-mimpi Shabana roboh kembali.
Susah payah ia menyatukan puing-puing cintanya yang terkoyak perang. Namun
semua kembali luluh lantak. Hatinya bagai tersayat-sayat. Bayangan
kebahagiaannya berubah dalam sekejap, menjelma kepedihan yang merajah-rajah
perasaannya. Kenyataan anak semata wayangnya telah berubah menjadi warga Negara
Pakistan, membuat hatinya semakin lumat. Faisullah, suaminya mengambil keputusan yang seketika menghancurkan harapan. Dan pada Maryam
Shekiba, haruskah ia menabur benci tatkala adik kandungnya itu justru menjadi
api yang memadamkan kembali nyala cintanya? Sementara nasib sang ayah yang
ternyata sudah berkeluarga lagi dengan seorang wanita Pakistan itu tak ubahnya
telur di ujung tanduk.
Barangkali yang menjadi kekuatan utama novel ini adalah
settingnya. Pengarang begitu lihai menggambarkan suasana Afghanistan dan Saudi,
lengkap dengan ritual Hajinya. Dari awal hingga akhir dikisahkan, Shabana sekaligus
melakukan ibadah haji sambil sesekali mencari ayahnya. Aura haji begitu kental
mewarnai novel ini. Pesan moral bertaburan sepanjang ritualnya. Tampaknya,
penerbit Indiva Media Kreasi begitu konsisten menjaga imagenya sebagai penerbit yang menghadirkan buku-buku dengan pesan
mencerahkan dan mencerdaskan. Tak sekadar mengikuti mainstream.
Menariknya, setiap akhir bab dibuat menggantung, menerbitkan
rasa penasaran untuk terus membuka lembar-lembar berikutnya. Hanya saja,
konflik kurang tergarap dengan maksimal di awal-awal bab sehingga terkesan
datar. Mulai terasa seru saat pertengahan. Penggarapan klimaks terbilang
berhasil. Harapan Shabana yang membumbung tinggi perihal keselamatan ayahnya
terpatahkan dengan adanya ‘pengkhianatan’ mantan suaminya secara
sembunyi-sembunyi. Alasan dendam masa lalu yang terkuak menjadi penyebabnya.
Yang terasa janggal, karakter Shabana tampaknya kurang
konsisten. Rasanya mustahil menjadi ceria dan banyak bercanda ketika ujian
hidup berat sedang mendera. Ia masih bisa tertawa-tawa, padahal harus menelan beberapa
kekecewaan pada saat yang bersamaan. Selipan humor memang perlu, untuk membuat
dialog lebih hidup. Hanya saja, porsinya sedikit berlebihan untuk ukuran
tragedi.
Penggunaan kata sapaan sehari-hari seperti bachem, agha, khali, kaka atau haris sayangnya tak dicantumkan artinya
di footnote. Jadi pembaca hanya bisa
mengira-ngira siapa maksudnya. Tidak semua pembaca akrab dengan bahasa Arab,
terlebih lagi Pashtun. Dalam hal penulisan, ada beberapa kata yang salah ketik,
diantaranya nmor (halaman 81) yang
seharusnya nomor. Lalu kata tap di halaman 101 yang seharusnya tapi. Dan kata Paksitan di halaman 189 yang seharusnya Pakistan. Pemilihan design
cover tampaknya kurang mewakili isi novel yang terbilang ‘rumit’. Warna peach terkesan terlalu lembut. Aura
Afghanistannya kurang terpancar.
Penggunaan nama Rashid Abdullah, entah disengaja atau sekadar
kebetulan belaka. Nama itu mengingatkan pada Abdul Rashid, wakil menteri
pertahanan dan panglima perang Afghanistan yang konon akan mencalonkan diri
sebagai wapres 2014. Ia merupakan sosok kontroversial. Saat memimpin aliansi
utara di wilayah selatan, ia dituduh berbuat semena-mena. Ia juga diduga kuat
mengikat tahanan di dekat moncong meriam sebelum meledakkannya ke udara.
Jika dalam novel dikisahkan, Rashid Abdullah tewas akibat bom
yang diselipkan di kamera seorang Taliban yang diduga menyamar sebagai wartawan
saat mewancarainya. Maka dalam kehidupan nyata, Abdul Rashid pernah mengalami
hal serupa di tahun 2005. Bom bunuh diri yang meledak di Shergen, sebelah utara
Afghanistan itu diduga dialamatkan kepadanya. Bom yang disembunyikan di balik
pakaian seorang pria tak dikenal itu memang tak sampai membuatnya tewas. Tapi
ia mengalami sesak napas akibat ledakan itu. Entah, ‘pembelokan’ fakta ini
untuk kepentingan siapa? Atau hanya sebagai kritik sosial atas tirani dan
kesewenang-wenangan yang terjadi di Afghanistan?
Seorang Tasaro GK pernah berkata, bahwa fiksi yang baik
dibangun oleh tiga kekuatan, yakni data, imajinasi dan pengalaman. Dan Agung F
Aziz berhasil merangkai ketiga unsur tersebut ke dalam novel ini. Sebagai
pengarang yang baru pertama kali menulis novel, idenya terbilang cemerlang.
Studi literarur yang ia pakai tidak mungkin asal-asalan. Pengalamannya yang
pernah bermukim di tanah suci juga menjadi nilai lebih. Dan imajinasinya,
mungkin lebur bersama harapan lewat pesan-pesan yang ia wakilkan pada tokoh-tokoh
yang diciptakan. Sosok Rashid Abdullah yang mewakili kelompok Mujahidin,
Massoud Kamal yang mewakili Taliban, serta Shabana Ahmas sendiri sebagai korban
carut-marut politik sepertinya cukup untuk menggambarkan bahwa perang telah
menyisakan kekacauan dan kepedihan.
Ketegaran Shabana dalam menjalani berbagai kepedihan itu
menunjukkan bahwa ia mampu berdamai dengan masa lalu dan tidak takut melangkah
ke depan. Ia telah membuat satu keputusan bijak. Perang yang terus mencabik
Afghanistan itu mungkin telah memporak-porandakan hidupnya. Tapi hidup harus
tetap berjalan. Serunyam apapun, Shabana tetap ingin pulang ke tanah
kelahirannya. Harapan akan kedamaian berdengung pada jiwa-jiwa yang terkoyak
akibat konflik yang tak berkesudahan. Harapan itu ada, jika pihak-pihak yang
berkepentingan atas perang itu memahami, memaklumi dan sedikit menurunkan ego
berkuasanya. Karena setiap manusia berhak atas kebebasan dan kebahagiaan.
Biarkan mereka merajut mimpi tanpa ketakutan perang dan kekerasan!
Novel tetaplah karya fiksi. Tapi jika sekaligus bisa
menyuarakan fakta di dalamnya, kenapa tidak? Kadang kenyataanpun bisa lebih
tragis daripada fiksi. Saatnya fiksi ‘berbicara’, menyerukan perdamaian.
Judul
Buku : Cinta yang
Membawaku Pulang
Pengarang : Agung F. Aziz
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Tebal : 296 Halaman; 19 cm
Terbit : September 2013
ISBN : 978-602-8277-62-4
Harga : Rp 42.000,-
Keren 4 jempol :-) insya Allah menang:-)
ReplyDeleteHihi, Aamiin.. makasih Mbak Lyta :)
Deletewah ada kritiknya juga :)
ReplyDeleteBiar berimbang mas :D
DeleteItu kuku jempolnya panjang, minta dipotonk *eh, salahpokus c(ˆ▽ˆ)v
ReplyDeleteResensi ini manis, semaniez yang menulis *eaaah :v :p
*Getok Annisa Rona merah membara :p
DeleteMakasih uda mampir :)
Kembali kasih, Kakaaak :D Goodluck ya! And klo menang, traktir :p
ReplyDeletehaiyah :p
DeleteNgesot eh meluntjur (lagi) di MTA boljug tuh, Kaaak :D
DeleteOr ngantri demi segepok bantal empuk? *inget2 smsmu yg doeloe :p
Aiiih..keren banget resensinya.
ReplyDeletebtw, yang teringat olehku setiap kali mendengar nama Afghanistan diangkat ke dalam novel, adalah Khaled Hosseini, hihiiiii...
Hihi, kirain si Afghan :D
DeleteAku jugaaa.. kayaknya Agung F Aziz ini Khaled Hosseini'nya Indonesia ya Mbak Eky :D
cakep San, resensinya.. sama kayak kukunya.. :p
ReplyDeleteEh, emang penulis novel ini pernah tinggal di Mekah ya?
Haiyah, kuku atau buku.. itu krn ga punya scanner.. jd cuma bisa motoin :p
DeleteSepertinya pernah mbak.. *hasil ngintip sebuah percakapan :D
Ssssttt.. *jangan2 ini dibaca lagi sama pengarangnya :D
resensi yang cakeeep.. makin banyak pesaing hihi..
ReplyDeleteKayaknya peserta lombanya didominasi anak baw ya mbak :D
DeleteGutlak buat mbak Binta :)