Berawal dari obrolan di loker, dua hari yang lalu jelang pulang kantor.
Ditanyain sama Dian, “Hayo, inget ga setahun pas yang lalu kita ngapain?”
Sambil mikir, aku nanya balik, “Mmm, apa ya?”
Lalu Dian nunjukin baju batiknya. Dian bilang, paginya, baju batiknya seakan-akan melambai dari lemari, seolah minta dipakai.
Batik bersejarah itu |
Ah, ya. Masyaallah. Nggak terasa ya uda setahun pas. Makasih Dian, uda ngingetin momen-momen indah yang akan selalu dikenang itu. Semoga Allah selalu beri kita semua kesehatan dan keluasan karunia sehingga terhampar kesempatan lagi dan lagi. Aamiin.
Selamat menghidu harumnya kenangan…Coz once is not enough…
Dan, aku punya cerita. Tentang keinginan yang dipendam diam-diam, tak terkatakan. Hanya selintas saja menyelinap di pikiran. Keinginan yang kala itu hadir ketika berkesempatan menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di tanah haram. Tidak, aku tidak mengeluh karena mendapat penginapan yang letaknya rada jauh dari Masjidil Haram. Aku justru sangat menikmati setiap jengkal berjalan kaki di sana. Bagaimana tidak, jika setiap langkah adalah kebaikan dan seolah meniti kembali jejak mulia sejarah. Aku bersyukur bisa berada di titik itu. Aku tidak menafikan segala perjuangan untuk berproses ke sana. Berhemat bertahun-tahun demi bisa menabung. Juga tarik-menarik niat, yang kala itu dilematis karena godaan melanjutkan pendidikan. Yang akhirnya, perjalanan menuju tanah haramlah yang menjadi pemenangnya. Setelah kuputuskan untuk melanjutkan pendidikan di universitas kehidupan saja. Biarkan pengalaman yang menjadi masternya dan setiap saat ujiannya. Belajarnya sepanjang masa. Tapi menunaikan ibadah ke tanah haram, kesempatan tidak datang setiap saat kepada setiap orang. Jadi tak ada alasan untuk mengeluh, kala impian yang ingin diwujudkan sudah terhampar di depan mata.
Sungguh, saat itu, aku benar-benar tidak
menyadari ada satu bisikan di sudut hati. Sedikit naif memang. Bisikan itu
hadir saat melihat Tower ZamZam. Ya, aku berharap bisa menginap di salah satu
penginapan di kanan kiri tower itu. Terlintas, betapa nyaman saat keluar
penginapan langsung menginjak pelataran Masjidil Haram. Tapi ya, itu hanya
selintas harap saja. Tak terlalu dipikirkan.
Tower ZamZam dilihat dari Jalan Ibrahim Al Kahlil |
Perluasan Masjidil Haram |
Jujur, sepulang menunaikan umrah yang
pertama, aku merasa marah dengan diri sendiri. Pengetahuanku tentang sirah
nabawiyah masih begitu minim. Selama ini hanya belajar sepotong-sepotong. Aku
merutuki diri. Setiba di tanah air, aku bertekad akan membeli buku-buku tentang
sejarah nabi lengkap, mulai dari kisah Nabi, kisah Rasulullah, sampai
Khulafaurasyidin. Buku-buku yang cukup tebal. Bahkan untuk Kisah Para Nabi ada
seribuan halaman. Dengan kesibukan pekerjaan dan minat baca yang turun drastis
saat itu, mustahil buku-buku tebal itu akan selesai dalam hitungan bulan. Tapi
aku berusaha komitmen membaca minimal selembar sebelum tidur, jika hari itu
benar-benar sibuk. Dan akan menambah halaman saat akhir pekan. Serta
menyediakan waktu khusus yang menurutku magis, yaitu waktu antara Magrib dan
Isya. Aku berusaha hanya membaca Quran dan buku-buku tebal itu. No Fiction.
Aku akan membaca fiksi dan semacamnya di luar waktu itu. Saat membaca sejarah mulia para Nabi, Rasulullah dan Khulafaurasyidin, terkadang ada
selintas pikiran muncul. Rasanya seperti berdialog, mirip tawar-menawar, “Ya
Allah, jika pengetahuanku tentang sejarah nabi sedikit membaik, boleh ya,
diizinkan ya untuk menjejak tanah haram lagi." Menelusuri kisah dan perjuangan Nabi Muhammad Saw, seperti menumbuhkan cinta yang tulus pada tanah haram.
Dan ketika harapan itu benar-benar mewujud, di sana, di setiap jengkal tanah haram yang terpijak, aku merasa haru seharu-harunya. Dua setengah tahun membaca Kisah Para Nabi, Kisah Rasulullah dan Khulafaurasyidin berurutan. Seminggu menjelang keberangkatan, aku menutup lembaran terakhir biografi Ali bin Abi Thalib. Saat itu, tangis ini pecah, tak mampu berkata apapun. Hanya ada syukur atas kelimpahan anugerah itu. Aku percaya, tiap orang akan menemukan pengalaman magisnya masing-masing.
Keajaiban itu ada. Allah akan mampukan orang-orang yang terpanggil, bukan memanggil orang-orang yang mampu tanpa niat. Kadang doa-doa yang kita langitkan tidak serta merta terwujud. Ada yang menunggu beberapa waktu. Ada yang terganti dengan sesuatu yang lain. Tak ada yang tertolak, sepanjang doa dan ikhtiar mengiringinya.
Dan berharap keajaiban menjejak
tanah haram lagi dan lagi, adalah candu yang indah. Adiktif yang manis.
Saat melihat Baitullah adalah kerinduan yang tak pernah terputus, maka teruslah mengupayakannya.
Karena...
“Antara umrah yang satu dengan umrah yang lainnya, itu akan menghapuskan dosa di antara keduanya. Dan haji mabrur tidak ada balasannya melainkan surga.”
(HR. Bukhari No. 1773 dan Muslim No. 1349).
Bismillah, semoga Allah mudahkan umat muslim untuk menunaikan Haji dan Umrah. Aamiin...
(Sambil menyimak Tabligh Akbar Maulid Nabi Muhammad Saw, Rabi'ul-Awwal 1442 H)
*) Untuk Diah Cmut, ini semacam summary atas obrolan-obrolan kita :)
No comments