Algoritma dan Media Sosial

Tidak, tidak.. Saya tidak akan membicarakan tentang rumus matematika, yang buat sebagian orang cukup membuat kepala pening. Njelimet kayak mengurai benang kusut. (oke, itu mah saya!)

Tapi, saya akan mengaitkan sedikit tentang algoritme dan perilaku. Terutama perilaku bermedia sosial. 



Sebagai bagian dari kelompok yang sering nguap-nguap saat disuguhi pelajaran matematika, dulu, saya berpikir kegunaan matematika jika diterapkan dalam realitas kehidupan, pasti hanya berputar-putar tentang hitung-menghitung uang dan panjang lebar ruang. Rumus-rumus seperti persamaan, deret hitung, fungsi x,y sampai peluang dan lain-lain, rasanya tak akan begitu dibutuhkan saat transaksi belanja di pasar. (ya iyalah!)

Sampai era digital melanda. Media sosial merebak. Memporak-porandakan ritme kehidupan, menuntut segalanya harus serba cepat.

Saat matematika bergandangan erat dengan teknologi, tak dinyana, rumus-rumus yang terasa semu itu mengendalikan kita.

Ya, kita telah dikendalikan oleh makhluk tak kasat mata bernama algoritme. Suka atau tidak suka.

Saat kita berinteraksi di media sosial misalnya. Entah Facebook, Instagram, YouTube dan media sosial lainnya. Hal-hal yang sering kita buka, hal-hal serupa lah yang akan muncul selanjutnya di beranda kita, sebagai hasil rekomendasi akumulasi algoritme. Atau saat kita membuka aplikasi marketplace untuk berbelanja online, barang-barang yang berseliweran kemudian adalah barang-barang serupa yang sebelumnya kita cari. Rasanya asyik sekali kalau sudah penasaran, seperti ada tuntutan untuk berlama-lama virtual window shoping. Dan tanpa sadar, kegiatan skroling smartphone-pun jadi jamak. Padahal mungkin, sebenarnya kita tak sedang butuh-butuh amat kala mencari sesuatu. Tapi waktu banyak tersita olehnya.

Berbagai hashtag yang tak sengaja kita klik pun ada kemungkinan besar tersangkut dalam kalkulasi algoritme itu, untuk kemudian direkapitulasi, diproses dan dinalar otak komputer yang kecerdasannya kadang ngalahin penggunanya, sampai menghasilkan big data.

Ya, kita sedang berada di zaman dengan luapan data yang melimpah, lengkap dalam genggaman. Tak heran jika kemudian juga terjadi ledakan kecerdasan. Dengan tingkat pendidikan yang semakin baik, orang-orang semakin terpacu kreativitasnya untuk menciptakan hal-hal baru, berbasis data. Ketika hal-hal baru itu dirasa kurang, akan muncul hal-hal baru lagi untuk menyempurnakannya. Begitu seterusnya.

Dalam tahapan wajar, data-data dan aplikasi yang ada memang berguna. Banyak sisi kehidupan terbantu karenanya.

Tapi bayangkan, jika otak kita harus memproses data itu tiap hari tanpa henti. Walaupun kita tak sedang bermaksud mencari data misalnya. Kadang, ada saja yang berseliweran, yang memang dengan sengaja dibuat begitu oleh sumbernya. Hidup serasa dikendalikan oleh notifikasi.

Contoh kecil saja, segala berita yang dimuat di portal-portal berita online. Sudah judulnya sensasional, nggak nyambung pula sama isinya. Seringnya bukan berita penting, hanya gosip-gosip murahan yang dicomot dari postingan publik figur di media sosialnya. Parahnya, kadang kita juga tergelitik untuk membacanya. Sudah gitu, berbagai iklan tak masuk akal pun riuh sekali berebutan, memotong-motong bagian berita utama. Iya membaca berita tambah informasi, tapi tambah pusing juga.

Nah kan, ada kalanya otak begitu lelah mencernanya.

Kalau sudah merasa begitu, kita perlu menepi, bukan hanya sekedar sejenak. Tapi sebenar-benar niat untuk mengurangi intensitasnya. Kita harus mengendalikan diri dan cerdas memilah, informasi apa yang benar-benar kita butuhkan. Sama seperti makanan, lambung punya batasan untuk menampungnya. Begitu pun dengan otak, ia pun punya kapasitas. Ia butuh rileks dan bersih dari info-info mengesalkan.

Ingat, kita punya kendali atas diri. Ada baiknya, kita mengonsumsi hal-hal yang tetap memiliki value positif. Tak harus selalu mengikuti yang viral tapi tak berfaedah. Supaya, algoritme yang direkomendasikan ke kita juga memiliki nilai serupa. Meskipun kita hanya sebagai objek, tetap mendapat manfaatnya. Syukur-syukur kalau kita bisa menjadi subyek yang turut menyebarkan algoritme bermuatan positif.

Sedikit demi sedikit, kita bisa mulai belajar bijak mengendalikan algoritme, kalau kita mau.

Supaya kita tetap waras di zaman yang entah ini...



You Might Also Like

1 comment

  1. Keep waras di zaman yg gak waras, kak *eh gimane ��


    AR

    ReplyDelete