Review Green Deen

Green Deen, Komitmen Islam terhadap Keberlanjutan Lingkungan

 Blurb:

Inilah Green Deen atau agama hijau. Sebuah pemahaman yang didasarkan atas prinsip-prinsip menjalankan Islam seraya berkomitmen kepada alam, yaitu kesatuan Tuhan dengan ciptaan-Nya (tawhid), memahami tanda-tanda kekuasaan-Nya (ayah), menjadi penjaga bumi (khalifah), memegang teguh kepercayaan Tuhan atas potensi kita (amanah), bersikap adil (adl), dan hidup selaras dengan alam (mizan).

 

Pernahkan kamu mengumpulkan sampah akibat konsumsimu terhadap barang-barang untuk beberapa waktu tertentu? Saya pernah. Dan hasilnya mengejutkan sekali. Saya tak menyangka bahwa sampah yang harus saya buang hanya dalam waktu seminggu ternyata sangatlah banyak. Terlebih saat pandemi ini. Cara berbelanja yang kadang bergeser menjadi online dengan kemasannya yang berlapis-lapis, ternyata menambah tumpukan sampah yang ada.

 

Pandemi ini juga mengubah banyak kebiasaan. Jika setidaknya seorang menggunakan dua masker tiap hari, berapa tinggi tumpukan sampah yang memenuhi bumi? Dua tahun pandemi, milyaran sampah masker! Sebagiannya hanyut sampai ke lautan lepas dan mencemari keanekaragaman hayati yang ada.

Selama ini saya sudah berusaha untuk mengurangi sampah dengan membawa kantong belanja dan wadah makanan sendiri tiap keluar rumah. Tetapi sampah yang saya timbulkan masih banyak juga. Dan membaca buku Green Deen ini, rasanya semakin mengencangkan ikat pinggang saya untuk berkomitmen mengurangi sampah lewat aksi kecil apapun itu yang bisa dimulai dari diri sendiri.

Buku terjemahan karya Ibrahim Abdul-Matin ini -judul asli: Greendeen, What Islam Teaches You About Protecting the Planet- secara konkret menyodorkan tema lingkungan seperti limbah, energi, air dan makanan. Masing-masing bagian menyajikan masalah dan menawarkan solusi yang terinspirasi dari ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi yang mendukung prinsip ‘agama hijau’, juga dari para individu muslim yang hidup dengan prinsip tersebut. Tujuan pokoknya adalah membangun harmoni antara kedalaman spiritual dan kesadaran terhadap lingkungan.

Setiap prinsip mengacu kepada rahasia yang sama dan terjaga dengan baik: bahwa Islam mengajarkan cinta yang mendalam kepada planet bumi. Sebab, mencintai planet bumi berarti mencintai diri kita dan Sang Pencipta. Keyakinan bahwa bumi merupakan tempat sujud yang suci didasarkan atas prinsip Islam mengenai etika yang harus kita pahami mengenai agama hijau. Enam prinsip tersebut meliputi: memahami kesatuan Tuhan dengan ciptaan-Nya (tawhid), melihat tanda-tanda (ayah) Tuhan di mana saja, menjadi penjaga (khalifah) di bumi, menjaga kepercayaan Tuhan (amanah), berjuang menegakkan keadilan (‘adl) dan menjalani kehidupan yang seimbang dengan alam (mizan).

Limbah, Energi, Air dan Makanan

Penulis buku ini, seorang muslim Amerika yang dibesarkan oleh orangtua mualaf, sangat komit berkegiatan sebagai aktivis lingkungan yang banyak meneliti dan berinteraksi dengan banyak komunitas pecinta lingkungan, tak hanya dari kalangan muslim, tetapi juga antar iman. Ia berharap, bisa ‘mengubah dunia’ lewat aksi-aksinya menyuarakan isu-isu lingkungan. Terutama sekali isu mengenai limbah, energi, air dan makanan.


Sampah atau limbah muncul sebagai akibat dari perilaku konsumsi yang berlebihan dan obsesi manusia terhadap barang. Agama hijau menawarkan konservasi sebagai pemulihan terhadap keseimbangan alam. Gerakan ekonomi hijau juga bisa dilakukan dengan memafaatkan ruang-ruang yang tersedia untuk dijadikan sehijau mungkin, termasuk masjid. Saya setuju dengan ide menyaring dan mengalirkan air bekas wudhu untuk menyiram tanam-tanaman di sekitar masjid.

Membincang upaya pelestarian lingkungan, kita dihadapkan pada dua macam energi:  energi dari dalam bumi dan energi dari luar bumi. Energi yang diambil dari dalam bumi merupakan penyebab polusi dan perubahan cuaca. Energi-energi tersebut tidak dapat diperbarui. Penghamburan atas energi-energi ini merupakan bentuk ketidakadilan yang dilakukan manusia. Kita harus berusaha mengurangi ketergantungan terhadapnya (misalnya minyak dan batubara) dengan mengganti energi dari luar bumi (misalnya sinar matahari dan angin).

Tragedi yang terjadi di Teluk Minamata Jepang adalah pelajaran berharga bagi kita untuk mengantisipasi dampak limbah kimia terhadap lingkungan. Limbah menghancurkan habitat ikan dan ekologi lainnya, sehingga berimbas kepada kehidupan manusia yang tak sadar mengonsumsi ikan beracun. Para nelayan pun terpaksa kehilangan pekerjaannya.

Pencemaran lingkungan juga memberi dampak berarti terhadap air. Air sangat vital keberadaannya. Air adalah kehidupan itu sendiri. Tanpa air, semua bentuk kehidupan akan musnah. Air juga menjadi elemen penting dalam semua agama. Islam dengan wudhunya, nasrani dengan baptisnya, hindu dengan perayaan-perayaan sucinya, dan hampir semua aliran kepercayaan menempatkan air sebagai sesuatu yang suci dan membersihkan. Mengingat arti pentingnya, seharusnya air menjadi sumber daya bersama seluruh manusia. Air adalah hak asasi semua manusia, tak seorang pun berhak memonopoli. Air harus dikelola pemerintah dengan pengaturan dan pendistribusian yang adil. Saya setuju sekali dengan gagasan bahwa seluruh pemerintah di berbagai negara harus menyediakan air minum yang layak dan gratis bagi warga negaranya di sudut-sudut jalan, jadi air mineral kemasan tak perlu diproduksi lagi. Ini juga solusi untuk mengurangi penumpukan sampah botol bekas air minum kemasan.

Tak hanya air, alam juga memberikan segala yang manusia butuhkan sebagai makanannya. Islam secara tegas mengajarkan kepada umatnya untuk mengonsumsi makanan yang baik lagi halal, serta tidak berlebih-lebihan. Zaman yang semakin maju, manusia makin kreatif mengolah makanan dalam kemasan yang awet bertahun-tahun. Tanpa sadar, sampah bekas kemasannya yang dominan plastik pun menggunung dari tahun ke tahun. Solusi agama hijau adalah mencoba berdikari dengan menanam segala yang dibutuhkan dalam kebun sendiri. Jika tak cukup memiliki tanah, kebun-kebun vertikal untuk kehidupan urban perkotaan pun bisa dicoba. Ya, kita hanya perlu mencobanya. Selain lebih sehat, kandungan oksigen dalam udara yang lingkungannya banyak tanaman pun melimpah.

Kita memang tidak bisa serta merta memperbaiki lingkungan. Tetapi kita punya kesempatan untuk membuat bumi lebih baik, terjaga dari degradasi lingkungan dan perubahan iklim yang disebabkan oleh gaya hidup manusia itu sendiri (konsumerisme dan hedonisme).

Bumi pun memiliki mekanismenya sendiri untuk melindungi dirinya. Ketika bumi terus menerus dihujani dengan sampah, ada kalanya ia ‘menyuarakan’ bebannya melalui serangkaian bencana alam. Mungkin pada saat itu lah kita baru tersentil jika peka.

Kita, manusia yang tujuan penciptaannya adalah sebagai khalifah di bumi tak seharusnya melukai bumi demi ego diri. Justru tugas kita adalah menjaga dan merawat bumi, sebagai konsekuensi logis telah dipercaya Allah untuk mendiaminya. Sehingga, jejak yang kita tinggalkan di bumi adalah sesuatu yang baik dibandingkan dengan sebelum kita menghuninya. Dan karena alam telah ada lebih dulu sebelum manusia, dan akan ada sampai tak ada lagi manusia, sudah selayaknya kita menghormati dan menyayanginya. Manusia hanya menumpang sementara pada alam.

Sebagian besar isi Quran adalah tanda-tanda kebesaran Allah. Kita sebagai muslim seharusnya mampu sesadar-sadarnya untuk membaca isyaratnya. Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Rahmat bagi seluruh alam. Kita manusia, sebagai makhluk yang dianugerahi akal, yang membedakan dengan makhluk-makhluk lainnya, seharusnya bisa menjadi solusi, cerdas mengelola potensi alam untuk keberlangsungan alam dan kita sendiri. Alih-alih mengeksploitasi alam demi memuaskan hasrat manusia yang tak ada habisnya.


Islam mengajarkan bahwa kita bukanlah pemilik apa pun yang ada di alam semesta ini. Segala sesuatu yang ada di sisi dan sekitar sesungguhnya bukan milik kita. Jika kita belum mampu berperan aktif dalam aksi besar tentang penjagaan lingkungan, paling tidak kita punya aksi kecil yang bisa dimulai dari diri sendiri seperti lebih bijak mengelola sampah. Lebih baik lagi, jika aksi kecil itu terakumulasi dalam komunitas-komunitas yang lebih luas lagi menyuarakan tentang lingkungan.

Gaung dari komunitas-komunitas yang memperjuangkan lingkungan, harapannya didengar oleh penentu kebijakan publik yang seharusnya memperhatikan analisis dampak lingkungan terhadap keputusan-keputusan strategis yang dibuat, terutama ranah kapitalisme industri. Misalnya dengan mewajibkan penggunaan dana Corporate Social Responsibility-nya untuk penghijauan. Untuk bumi yang lebih baik, dengan keseimbangan ekosistem dan kaeanekaragaman hayati yang terjaga, sebagai pondasi kehidupan generasi yang berkelanjutan.  

Sabda Nabi Muhammad Saw, “Siapa pun di antara kalian yang melihat ketidakadilan, ubahlah dengan tanganmu (tindakan), jika tidak mampu, ubahlah dengan lidahmu (teguran), dan jika tidak mampu, ubahlah dengan hatimu (dengan membenci dan merasa bahwa itu salah).”


Judul Buku          : Greendeen, Inspirasi Islam dalam Menjaga dan Mengelola Alam

Penulis                 : Ibrahim Abdul-Matin

Penerbit               : Zaman

ISBN                    : 978-979-024-319-4

 

 

 

You Might Also Like

No comments