Refleksi 25 Tahun Reformasi - Bentara Budaya Jakarta

Refleksi 25 Tahun Reformasi
Bentara Budaya Jakarta

 

Bentara Budaya Jakarta menyelenggarakan Pameran Drawing Eksperimental "Indonesia Kini, 25 Tahun Peristiwa Mei 1998" dari tanggal 20 - 29 Mei 2023.

Lembaga Kebudayaan yang didirikan oleh Kompas Gramedia itu ingin membuka kembali ingatan mengenai Peristiwa 1998, yang merupakan momentum bersejarah mengenai kebebasan berpendapat dan penegakan demokrasi di Indonesia.
 

Refleksi 25 Tahun Reformasi
Beberapa arsip koran Kompas mengenai Peristiwa 1998 yang dirilis ke dalam NFT
(Non-Fungible Tokens)

 

Pameran ini menampilkan kronologi sembilan hari yang menentukan perubahan kekuasaan, dimulai dari tragedi penembakan enam mahasiswa Universitas Trisakti, kekacauan politik dan ekonomi, penjarahan, pelanggaran hak asasi manusia, sampai robohnya rezim Orde Baru.


Refleksi 25 Tahun Reformasi
Mahasiswa menduduki Gedung MPR-DPR RI pada Mei 1998 menuntut Presiden Soeharto mundur

 

Selain kronologi Peristiwa 1998, pameran juga menyuguhkan karya-karya dari banyak seniman Indonesia yang menyuarakan uneg-unegnya melalui beberapa media.


Refleksi 25 Tahun Reformasi
Massa bersorak ketika Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran diri pada 21 Mei 1998

Sebenarnya, apa relevansi reformasi bagi kita semua? Pada saat peristiwa bersejarah itu terjadi, mungkin sebagian dari kita ada yang langsung mengalami dan mengerti situasinya karena sudah cukup dewasa. Atau, bisa jadi kita hanyalah seorang bocah yang tidak tahu menahu rangkaian sebab akibatnya. Yang pasti, generasi Z yang saat ini beranjak mendewasa belum lahir saat itu, jadi lebih tak memiliki momen dan pengetahuan apa pun lagi mengenainya. Kecuali bagi yang aktif mencari, digerakkan oleh kebutuhan memahami sejarah untuk lebih membenahi negeri.


Refleksi 25 Tahun Reformasi
"Meraih Bintang Setelah Ketidakutuhan" karya Nirwan Sambudi (2023)

 

Konon, kata 'reformasi' saat itu seolah menjadi mantra yang menggerakkan massa untuk menuntut keadilan atas kekuasaan otoriter yang telah menguasai negeri lebih dari tiga dekade. Rakyat ingin bebas dari belenggu rezim militeristik yang menekan segala sendi kehidupannya.

Bahkan jauh sesudah merdeka pun, rakyat masih belum sepenuhnya menikmati kebebasan!


Refleksi 25 Tahun Reformasi
"Payung Air Mata" karya Tommy Thomdean (2023)

 

Reformasi 1998 membawa enam tuntutan, yaitu penegakan supremasi hukum, pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), pengadilan mantan Presiden Soeharto dan kroninya, amandemen konstitusi, pencabutan dwifungsi ABRI/POLRI, dan pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.


Refleksi 25 Tahun Reformasi
"Huru-Hara 98" karya Tommy Thomedean (1998)

Pada beberapa hal, kita boleh berbangga. Karena reformasi, demokrasi pelan-pelan ditegakkan. Kebebasan bersuara pun mengambil porsi dan perannya. Pembenahan dalam berbagai bidang terus diupayakan.


Refleksi 25 Tahun Reformasi
"Reformasi, Jangan Injak Kepala Sendiri" karya I Made Somadinata (2022)

 

Namun, apakah visi reformasi sudah sepenuhnya teraih setelah dua puluh lima tahun berlalu?

Atau, malah muncul tirani baru?


Refleksi 25 Tahun Reformasi
"sudah dua puluh lima tahun ya?" (reformasi) karya Eko S Darmansyah (2023)

 

Era digital dan media sosial ini, segala informasi ada dalam genggaman. Kita semua, rakyat, dari berbagai macam elemen, bisa turut serta memantau kinerja pemerintah. Apa pun peran kita, jangan lelah untuk terus belajar, belajar, dan melihat sekitar.


Refleksi 25 Tahun Reformasi
"Masih Tetap Terkunci" karya Yusuf Dwiyono (2023)

 

Mencermati peristiwa-peristiwa pascareformasi, rasanya kita semua bisa menyimpulkan, bahwa Indonesia belum lah baik-baik saja.

 
 
Refleksi 25 Tahun Reformasi
"Wajah Reformasi" karya Irwan Suhanda (2023)

 

Lihat saja, kapitalisme semakin memperdalam jurang antara si kaya dan si miskin. Belum semuanya dapat mencicipi pendidikan layak. Hak asasi manusia belum benar-benar ditegakkan. Hukum masih tebang pilih.

Refleksi 25 Tahun Reformasi
"Kebebasan Berbicara" karya Firtarina (2023)

 

Lihat saja, skandal korupsi, kolusi, dan nepotisme masih rapat mengisi headline berita. Money politic masih mewarnai kontestasi pemilu. Komitmen politik penguasa pun patut dipertanyakan, ketika mereka sibuk membangun dinastinya, yang melanggengkan kekuasaan keluarga. Dan mirisnya, pejabat yang pernah bermasalah di masa lalu, yang sampai kini masih belum tuntas penanganannya, ternyata masih saja menempati jabatan-jabatan strategis.


"Pesta belum (juga) usai" karya Yugo Widyaputra (2023)

 

Tanpa sadar, kadang kita menggumam, "Alangkah lucunya negeri ini!"

Dan rasanya, penggalan puisi "Pesta belum juga usai" karya Yugo Widyaputra ini sangat relevan dengan carut-marut politik bangsa ini. Puisi yang diilustrasikan bersama segerombol tikus yang sibuk berebut bahan pangan.

Pesta belum juga usai

masih hingar-bingar

semakin berputar-putar

Masih berpesta

dan  terus berpesta pora

Bebas mengeruk-

mengerat-

melahap apa saja

Bebas berkoar-koar

menghasut-

menghina siapa saja

Saling memaki

Lantang mengutuk

Kerap meracau

 

Arsip Peristiwa 1998 yang direkam oleh Kompas, dan diejawantahkan ke dalam berbagai karya artistik penuh dengan ironi, aspiratif, pikiran kritis, kegelisahan, kekecewaan, suka dan duka, oleh para seniman ini, harapannya menjadi memori kolektif bangsa, agar, baik yang mengalami secara langsung atau pun tidak dapat memahami dan tidak melupakan sejarah, serta berkontribusi yang lebih baik lagi untuk negeri.


Catatan: Semua foto diambil di Bentara Budaya Jakarta





You Might Also Like

No comments