Belajar Bahagia dari Falsafah Hidup Negara-Negara Nordik

 

Menurut survei yang memeringkat 137 negara berdasarkan seberapa bahagia warganya, menempatkan negara-negara Nordik pada posisi atas. Indonesia tercatat berada dalam posisi ke-84, dan Afganistan menempati posisi terbawah.

Rata-rata skor kebahagiaan tersebut diolah dari data selama 3 tahun terakhir berdasarkan 6 faktor yaitu PDB per kapita, dukungan sosial, harapan hidup sehat, kebebasan memiliki pilihan hidup, kedermawanan, dan persepsi korupsi.

Sebenarnya, apa yang membuat negara-negara Nordik unggul dalam skor kebahagiaan tersebut? Mari sama-sama mempelajarinya, sebagai referensi kita meraih kebahagiaan serupa.

Negara-Negara Nordik atau Skandinavia?

Negara-negara Nordik menempati wilayah Eropa Timur dan Atlantik Utara, meliputi negara-negara Norden (Denmark, Norwegia, dan Swedia), Finlandia, Islandia, dan teritori Kepulauan Faroe, Greenland, Svalbard, dan Aland. Istilah Nordik digunakan secara lebih luas, sementara Skandinavia hanya sebatas negara-negara Norden saja.

Persamaan geografi dan kultur membuat negara-negara Nordik memiliki kebiasaan dan falsafah hidup yang hampir sama. Falsafah-falsafah hidup tersebut benar-benar diterapkan, membudaya, dan hasilnya termanifestasi dalam derajat kesejahteraan yang baik.

 

 Hygge – Denmark

Kebahagiaan di Denmark erat kaitannya dengan kesetaraan sosial dan semangat komunitas. Denmark memiliki tanggung jawab yang tinggi untuk kesejahteraan bersama. Meskipun Denmark adalah negara dengan pajak tertinggi, tetapi warga Denmark dengan senang hati membayarnya. Hal tersebut dikarenakan warga percaya bahwa pajak dikelola dengan tepat oleh pemerintahan yang stabil dengan tingkat korupsi publik yang rendah. Warga diberikan akses gratis untuk pendidikan dan perawatan kesehatan berkualitas tinggi. Bahkan, organisasi persahabatan pun dibiayai oleh negara.

Salah satu yang mendasari cara bersikap warga Denmark adalah falsafah “hygge” (dibaca: “huuga”). Hygee bisa berarti menciptakan atmosfer hangat dan menikmati hal-hal baik dalam hidup bersama orang-orang baik. Konon, kata hygge tidak ada padanannya dalam bahasa Inggris. Hygee ada di sekitar, dari hal-hal kecil yang terjadi setiap hari. Hygee bisa jadi keluarga dan teman berkumpul untuk makan, dengan pencahayaan yang redup, atau bisa juga memanfaatkan waktu untuk membaca buku yang bagus.

Menurut Marie Tourell Søderberg dalam bukunya yang berjudul Hygee, iklim yang tak menentu menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kebudayaan daerah Skandinavia sampai batas tertentu meromantisasi rumah sebagai ‘suaka’ tempat berkumpul keluarga untuk menghimpun kekuatan baru untuk sekali lagi menghadapi dunia luar. Rumah adalah bagian fisik dari hygee, sementara keluarga adalah bagian sosialnya.

Masih dalam buku yang sama, dijabarkan bahwa penyumbang paling penting untuk kesejahteraan psikologis adalah kekuatan hubungan dan hygee mendorong terciptanya waktu yang lebih akrab dengan orang-orang tercinta.

Dengan kenyamanan yang diciptakan oleh hygee, warga Denmark menilai hidup dengan lebih positif. Di Denmark, hanya sedikit yang memiliki terlalu banyak, dan lebih sedikit lagi yang memiliki terlalu sedikit. Denmark kerap disebut sebagai masyarakat ‘pascakonsumeris’. Banyak warga Denmark mampu membeli mobil, tetapi lebih memilih membeli sepeda, karena mesin sederhana, ekonomis, bebas polusi dan membantu orang tetap bugar. Orang-orang memiliki barang-barang bagus, tetapi belanja dan konsumsi bukan prioritas utama. Seiring dengan kurangnya penekanan pada barang dan tatanan sosial yang kuat, tingkat kepercayaan satu sama lain pun terbentuk, begitu juga dengan kepercayaan terhadap pemerintah.



 Lagom – Swedia

Lagom (dibaca: law-gom) adalah kata Swedia yang berarti “jumlah yang tepat” atau “tidak terlalu banyak, tidak terlalu sedikit”. Kata ini sering diterjemahkan sebagai “secukupnya” atau “seimbang”. Ada pepatah khas Swedia “Lagom är bäst” yang berarti “Jumlah yang tepat adalah yang terbaik.”

Cara menerapkan lagom adalah dengan tidak berlaku sombong, tidak boros, maka tidak akan kekurangan, ambillah secukupnya, jujurlah mengenai kemampuan, belajar berkata tidak dan jangan membuang-buang waktu, termasuk menerapkan prinsip 3R (Reuse, Refill, Recycle).

Dalam bukunya yang berjudul Lagom, Lola Akinmade Akerstrom menjelaskan bahwa pola pikir bangsa Swedia ini merupakan kesadaran yang disengaja. Kesadaran ini terbentuk oleh pemikiran mengenai bagaimana seseorang harus menempatkan diri dalam masyarakat, ditambah dengan bagaimana orang harus menjalani hidupnya sendiri dengan cara yang tidak memberi pengaruh negatif kepada orang lain atau tidak menyusahkan orang lain. Alih-alih bersikap dingin, apatis, atau antisosial, lagom justru berupaya untuk peduli pada sekitar.

Anak-anak di Swedia diajarkan untuk tidak bersaing sejak kecil. Mereka tidak boleh merasa harus lebih baik dari orang lain. Yang paling penting adalah keikutsertaan. Tidak seperti kebudayaan lain yang memberi tekanan kuat pada prinsip bekerja keras untuk mengumpulkan sebanyak mungkin, orang Swedia bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja. Dalam keuangan, lagom mengajarkan untuk tidak kikir dan lebih berhemat. Kekayaan tidak perlu diperlihatkan ke semua orang.

Dalam melihat alam sekitar, lagom mengajarkan pandangan bahwa kita meminjam planet ini dari anak cucu, jadi kita harus mengembalikannya dalam keadaan yang tidak menurunkan kualitas hidup mereka di masa yang akan datang.

Prinsip lagom menempatkan hal-hal penting dalam hidup untuk lebih dekat kepada keseimbangan, yang menumbuhkan kebahagiaan dan kesejahteraan.



Friluftsliv – Norwegia

Friluftsliv (dibaca free-loofts-liv) adalah gabungan dari kata Norwegia untuk “gratis”, “udara”, dan “kehidupan”. Friluftsliv secara harfiah diterjemahkan sebagai “kehidupan di udara terbuka”. Kata tersebut pertama kali diperkenalkan oleh dramawan dan penyair Norwegia, Henrik Ibsen untuk menggambarkan nilai menghabiskan waktu di lokasi terpencil untuk kesejahteraan spiritual dan fisik.

Frasa ini bahkan secara luas digunakan oleh negara Skandinavia lainnya untuk menjelaskan apa pun mulai dari lari dan makan siang di hutan, bepergian dengan sepeda, bermain ski lintas alam saat salju turun, sampai bergabung dengan teman di sauna tepi danau diikuti dengan berendam di air dingin, atau sekadar bersantai di pondok gunung. Konsep ini terkait erat dengan “allmansrätten” (hak untuk menjelajah). Semua negara Skandinavia memiliki undang-undang serupa yang memungkinkan orang untuk berjalan atau berkemah di mana saja, selama mereka menunjukkan rasa hormat terhadap alam, satwa liar, dan penduduk setempat.

Di Norwegia, friluftsliv adalah aktivitas rekreasi yang paling disukai dibanding aktivitas olahraga lainnya. Faktanya, friluftsliv memiliki hukumnya sendiri. Norwegia memiliki beberapa Taman Kanak-Kanak di luar ruangan, yang siswanya menghabiskan 80% waktunya di alam terbuka.  Asosiasi Trekking Norwegia memiliki ratusan ribu orang anggota, yang setiap tahunnya bekerja secara sukarela melakukan pemeliharaan kabin, menandai jalan setapak, merencanakan perjalanan, dan lain-lain. Bahkan, Norwegia menyediakan gelar sarjana dalam bidang friluftsliv.

Menurut Synnevåg Løvoll, ada lima cara menuju kesejahteraan yang dapat diraih melalui friluftsliv, yaitu terhubung (melakukan kegiatan di luar dengan orang lain), aktif (melakukan hiking, bersepeda, dan lain-lain), perhatikan (menjadi penasaran dan menangkap pemandangan yang indah), terus belajar (mengenal aktivitas baru atau mencoba jalur baru), dan memberi (membantu orang lain di luar ruangan).

Negara-negara Skandinavia memiliki musim ekstrim, jika musim panas siangnya panjang, begitu pun jika musim dingin, malamnya panjang. Menggunakan cuaca buruk sebagai alasan untuk berdiam diri di rumah bukanlah pilihan sebagian besar rumah di Norwegia. Ada pepatah terkenal di Norwegia, “Det finns inget som heter dÃ¥ligt väder, bara dÃ¥liga kläder" atau dalam bahasa Inggris, ”Theres is no such thing as bad weather, only bad clothes.” Begitu cintanya orang-orang Norwegia pada alam, sehingga alam tidak boleh disalahkan. Cara-cara kita memperlakukan dan menikmati alam lah yang menentukan kebahagiaan dan kesejahteraan kita.



Sisu - Finlandia

Finlandia menempati puncak negara paling bahagia selama 3 tahun berturut-turut sejak 2017 dan tetap berada di posisi atas selama 6 tahun berturut-turut. Apa rahasianya?

Salah satunya adalah karena penerapan falsafah sisu.

Sisu (dibaca sesuai tulisan) secara harfiah berarti “nyali”. Warga Finlandia merengkuh keberanian, ketabahan, dan keteguhan hati sebagai nilai-nilai khas bangsa, yang memungkinkan setiap orang menggali potensi dan kekuatan diri untuk bertahan melalui masa sulit. Sisu mencakup ketekunan dan kekuatan, serta tekad untuk tidak menyerah dan mengambil jalan pintas.

Sejarah Finlandia yang berjuang meraih kemerdekaan dari Rusia, menempatkan sisu sebagai perekat sosial yang membantu mendefinisikan bangsa. Tanpa sisu, mungkin identitas bangsa Finlandia akan kabur, misalnya bahasa.

Di Finlandia dikenal terapi hutan, yang dipercaya bahwa tidak ada yang bisa menggantikan perasaan damai yang timbul dari kegiatan dengan alam yang dilakukan secara rutin. Ini bisa dilakukan sebagai obat stres atau detoks digital. Budaya bergerak (berjalan, bersepeda, berenang, dan lain-lain) sebagai obat adalah penangkal penyakit yang efektif. Pola makan yang sehat tidak hanya memberi nutrisi pada badan, tetapi juga pikiran dan jiwa.

Warga Finlandia fokus pada aspek positif dari orang-orang sekitar, mempraktikkan kebaikan, dan tidak membandingkan diri dengan orang lain. Kejujuran dan kepercayaan juga dijunjung tinggi, yang menjadikan kehidupan bersosial menjadi lebih harmonis.

 

Negara-Negara Nordik
Image Credit: https://www.britannica.com/place/Nordic-countries
 

Jadi, jika disimpulkam secara garis besar, indeks kebahagiaan negara-negara Nordik ini dipengaruhi oleh dua hal, yaitu kepribadian warga dan tata kelola pemerintah.

Kepribadian warga menyangkut nilai hidup yang dijalankan (termasuk integritas dan ketekunan) serta perilaku hidup seimbang dan menghormati alam, yang diterapkan dengan baik dan membudaya.

Sementara itu, dari sisi pemerintah, pengelolaan pajak yang tepat sasaran tanpa korupsi, yang bermuara pada penyediaan akses gratis pada pendidikan dan pelayanan kesehatan yang baik adalah syarat mutlak yang tak bisa diabaikan.

Pertanyaan yang hadir kemudian adalah, siapkah Indonesia untuk menaikkan peringkat bahagianya?



Referensi buku dan situs web:

Hygee (Marie Tourell Søderberg)
Lagom (Lola Akinmade Akerstrom)
Finding Sisu (Katja Pantzar)
www.bbc.com
www.visitnorway.com
www.finland.fi
www.wellbeingintl.org

You Might Also Like

No comments