Pada era disrupsi digital ini, media sosial begitu ramai dan riuh. Namun, banyak hal terasa kosong, tak ada isinya, tak ada maknanya. Orang berlomba-lomba tampil dalam segala hal, memperlihatkan bahwa dirinya yang paling tahu, paling update, atau paling viral. Padahal sebenarnya hanya tahu sedikit, tapi sangat percaya diri mengomentari apa pun. Budaya ‘coment, like, and share’ tanpa kroscek kebenarannya dan tanpa memikirkan efeknya, sangat terasa.
Banjir informasi ini kian mengaburkan kebijaksanaan. Orang bebas mengutarakan pikiran dan pendapatnya. Namun terkadang, kebebasan itu terasa kebablasan.
Socrates dan Kebijaksanaan
Socrates adalah pelopor tradisi berpikir, seorang filsuf Yunani. Ia merupakan salah satu tokoh yang tidak lagi mempercayai mitos. Ia adalah guru Plato, yang merupakan kakek Aristoteles. Aristoteles sendiri adalah guru dari Alexander the Great. Bisa dikatakan, Socrates adalah seniornya pada filsuf, dan pemikiran-pemikirannya menjadi dasar pengembangan berpikir para filsuf lainnya.
Socrates dikenal sebagai orang yang paling bijaksana pada zamannya. Ia suka menanyakan apa saja. Meskipun ia adalah orang yang mengetahui banyak hal, tapi selalu merasa dirinya tak tahu apa-apa. Karena itu, ia belajar terus-menerus.
Ajaran Socrates fokus pada manusia (antroposentrisme). Menurutnya, kebenaran belum tentu bijaksana, tetapi kebenaran adalah syarat atau dasar kebijaksanaan.
Socrates dan Metode Dialog
Socrates gemar mengumpulkan anak-anak muda untuk diajak berpikir kritis dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan demi mengembangkan kemampuan beretorika. Ia memperkenalkan metode dialog. Kata ‘dialog’ sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘Dia’ yang berarti melintas atau menyeberang dan ‘Logos’ yang berarti nalar atau ide.
Bentuk dialog ini bisa berupa percakapan, pedebatan, menanyakan dan menyepakati jawaban. Efeknya berupa kesadaran, pengetahuan, etika, dan edukasi. Asumsinya adalah setiap orang memiliki potensi untuk mengetahui kebenaran dan kebaikan serta kesalahan.
Socrates dan Nilai Diri
Menurut Socrates, ada dua sisi nilai diri, yaitu identitas dan reputasi. Identitas merupakan kepribadian dan sudut pandang kita sendiri. Sedangkan reputasi adalah kepribadian dan sudut pandang pengamat, bagaimana orang lain memikirkan dan menilai kita.
Reputasi terasa lebih dominan daripada identitas. Dan karena tekanan ego, seringkali kita tidak obyektif membaca diri sendiri.
Socrates dan Degradasi Moral
Socrates juga gemar mengkritisi para pejabat yang menyalahgunakan kekuasaannya. Ia pernah berkata, “Apakah engkau tidak malu karena begitu peduli dalam menghasilkan uang, ketenaran, dan nama baik, sementara engkau tidak peduli dengan kebijaksanaan, kebenaran, dan perbaikan jiwamu?”
Jiwa adalah bagian terpenting dari kehidupan. Jiwa kita ‘sehat’ ketika mencari kebaikan, kebenaran, keadilan, dan pengetahuan diri. Jiwa yang mencari kekayaan, ketenaran, dan kekuasaan akan menjadi lemah, sakit, dan bodoh.
Socrates dan Kebahagiaan
Menurut Socrates, kebahagiaan bukanlah kesenangan. Banyak orang memenuhi keinginan untuk menikmati kesenangan, tetapi tidak bahagia. Kebahagiaan juga bukan kehormatan. Banyak orang dengan status sosial tinggi dan dihormati, tapi tidak tenang, merasa was-was takut kehormatannya akan lenyap.
Kebahagiaan yaitu membuat jiwa dalam kondisi terbaik. Yang diperlukan dalam meraih kebahagiaan adalah kebajikan moral, yang intinya adalah keberanian, moderasi, kebijaksanaan, dan keadilan. Kebajikan adalah kebijaksanaan untuk bertindak secara efektif atau tepat dalam situasi tertentu, memiliki dasar pada pengetahuan tertentu.
Rahasia kebahagiaan tidak ditentukan dalam mencari banyak, tetapi dalam mengembangkan kemampuan untuk menikmati lebih sedikit. Dan satu-satunya kebijaksanaan yang pasti adalah menyadari bahwa kita tidak tahu apa-apa.
Jadi, belajar dan terus belajar akan membantu mengasah kemampuan mengembangkan kebijaksanaan. Dan pada era post truth ini, belajar bijaksana bisa dimulai dengan pertanyaan yang ditujukan ke diri sendiri, sudah bijakkah kita dalam bermedia sosial?
No comments