Jalan M.H. Thamrin merupakan salah satu jalan protokol di Jakarta Pusat, yang membentang sepanjang 2.5 KM dari Bundaran Air Mancur Bank Indonesia sampai Stasiun MRT Jakarta Dukuh Atas BNI dan Stasiun Sudirman Baru. Jalan ini melintasi lima kelurahan yaitu Gambir, Kebon Sirih, Gondangdia, Menteng, dan Kebon Melati. Jalan ini didedikasikan bagi Mohammad Husni Thamrin, salah satu pahlawan pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Saya tidak pernah benar-benar mengenal M.H. Thamrin sebagai pahlawan sebelum tinggal di Jakarta. Namanya hampir tidak pernah disebutkan dalam buku-buku sejarah seperti Jenderal Sudirman, yang namanya sama-sama dipakai sebagai jalan protokol di Jakarta (lanjutan jalan M.H. Thamrin adalah jalan Jenderal Sudirman).
Dan saya pun makin penasaran dengan M.H. Thamrin setelah mendapati gambarnya dalam pecahan uang rupiah Rp. 2.000,-.
M.H. Thamrin dalam pecahan uang rupiah Rp. 2.000,- |
Mengenal M.H. Thamrin
M.H. Thamrin merupakan seorang politisi Betawi era Hindia Belanda. Ayahnya seorang Belanda dan ibunya seorang Betawi. Kakeknya seorang pengusaha berkebangsaan Inggris. Sebagai seorang anak Wedana, M.H. Thamrin memiliki privelege mengenyam pendidikan tinggi dan berkesempatan bekerja di Koninklijke Paketvaart-Maatschappij (perusahaan perkapalan Hindia Belanda, yang merupakan cikal bakal PELNI).
Dengan segala keistimewaan yang dimilikinya, tak lantas membuat M.H. Thamrin sombong. Sejak kecil, ia bergaul dengan semua kalangan, termasuk rakyat kecil yang miskin.
Didorong oleh keinginannya membantu rakyat kecil, M.H. Thamrin memasuki dunia politik. Ia menjadi anggota Gemeenteraad Batavia (Dewan Kota) pada 29 Oktober 1919. Delapan tahun kemudian, ia menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat). Selepas menjadi anggota Volksraad, ia diangkat menjadi wakil wali kota Batavia.
Sikap politik M.H. Thamrin selalu berpihak pada rakyat kecil. Program-programnya meliputi perbaikan kampung, program air bersih untuk kampung, penerangan, dan masalah banjir. Ia memprotes mengapa pembangunan perumahan elit Menteng diprioritaskan, sementara kampung kumuh diabaikan. Ia mempersoalkan harga kedelai, gula, beras, karet, kapas, kopra, dan semua komoditas yang dihasilkan rakyat.
M.H. Thamrin mewariskan banyak ide dan sumbangan riil terhadap pembangunan, khususnya Jakarta. Salah satu contohnya adalah pembangunan Pintu Air Manggarai yang menghubungkan Sungai Krukut dengan Sungai Ciliwung, untuk mengatasi banjir. Ide itu disetujui oleh Pemerintah Hindia Belanda, yang kemudian memulai pembangunannya melalui Burgelijke Openbare Werken (BOW), yang merupakan cikal bakal Dinas Pekerjaan Umum RI.
M.H. Thamrin dan Pergerakan Kemerdekaan Indonesia
Meskipun mengambil langkah perjuangan koperatif, tetapi M.H. Thamrin dekat dengan pejuang dari kalangan nonkoperatif. Bersama Soekarno dan kelompok pergerakan nonkoperatif lainnya, M.H. Thamrin menjadi tali penghubung (trait d’union) dan membentuk suatu kesatuan, suatu fenomena kesinambungan perjuangan yang telah mengantar rakyat Indonesia yang terjajah menjadi negara merdeka.
Ketika Soekarno ditangkap oleh Pemerintah Hindia belanda, M.H. Thamrin mengangat isu tersebut dalam sidang Volksraad. Ketika Soekarno, dibebaskan dari penjara Sukamiskin Bandung, M.H. Thamrin lah yang menjemputnya.
Museum M.H. Thamrin berada di Jalan Kenari II No. 15 Jakarta Pusat, yang merupakan pemukiman padat penduduk. Jalan menuju museum didominasi kios-kios kecil di sebelah Pasar Kenari. Hal itu membuat keberadaan pintu gerbang museum seperti tak terlihat. Namun begitu memasuki kawasan museum, halamannya terbilang luas.
Museum ini menyimpan koleksi foto reproduksi keluarga M.H. Thamrin, barang-barang koleksi pribadi, kepustakaan tentang perjuangan pergerakan nasional, beberapa koleksi kebudayaan Betawi, serta diorama kehidupan M.H. Thamrin dan peristiwa sejarah yang terjadi di dalamnya. Di museum ini juga terdapat replika biola W.R. Soepratman (koleksi aslinya bisa dilihat di Museum Sumpah Pemuda).
Seharusnya ini Tanjidor, bukan Trombone |
Museum ini sebelumnya merupakan rumah M.H. Thamrin, yang dibeli pada tahun 1927 dari Meneer de Haas, seorang berkebangsaan Belanda. Bangunan bergaya Indies Kolonial ini, sebelumnya difungsikan sebagai tempat penyimpanan buah-buahan impor dari Australia dan tempat pemotongan hewan. Setelah dipugar, M.H. Thamrin mempersilakan gedung ini untuk digunakan masyarakat sebagai tempat pertemuan organisasi kemasyarakatan dan sarana pendidikan.
Demi kepentingan perjuangan bangsa, M.H. Thamrin kemudian menghibahkannya kepada kaum pergerakan kebangsaan, yaitu organisasi PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia). Ketika itu, gedung ini dinamai Gedung Permufakatan Indonesia.
Pada 25 Desember 1939, di Gedung Permufakatan Indonesia diadakan Kongres Rakyat Indonesia I atas prakarsa GAPI (Gabungan Politik Indonesia) yang dihadiri oleh berbagai partai. M.H. Thamrin berperan sebagai tokoh dari Partai Indonesia Raya, yang terkenal membela kepentingan rakyat di Volksraad. Kongres ini menghasilkan tuntutan “Indonesia Berparlemen” dan menetapkan Merah Putih sebagai Bendera Persatuan, Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan Nasional, dan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Persatuan.
Mengingat pentingnya momen sejarah yang terjadi di gedung ini, penataan museum terasa kurang rapi seperti museum-museum bersejarah lainnya. Beberapa kepustakaan, tulisannya sudah pudar. Bahkan beberapa di antaranya hanya dicetak dengan kertas HVS dan dipajang berjajar, mirip majalah dinding. Berharap Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta selaku pengelola, dapat memperbarui kepustakaan tersebut sehingga lebih layak baca.
Relevansi Kepemimpinan M.H. Thamrin
Dalam sosok M.H. Thamrin ditemukan banyak pelajaran tentang bagaimana seorang politisi dan pemimpin berperilaku. Ide-idenya langsung tersambung dan berpihak kepada rakyat kecil.
Rasanya, hari-hari ini sudah jarang politisi dan pemimpin yang benar-benar memikirkan rakyat. Terbukti dengan banyaknya kasus korupsi dan hukum tebang pilih oleh penegaknya.
Semangat dan ketulusan M.H Thamrin, yang hari-hari ini makin hilang, diharapkan tumbuh kembali dalam diri kita semua.
“Satu hal yang dapat dipastikan bahwa rasa keadilan yang dibangun dewasa ini sangatlah sulit dicari. Kepercayaan terhadap keputusan pengadilan termasuk salah satu sandaran utama negara yang sangat penting, tetapi dengan banyaknya keraguan terhadap kenetralan institusi pengadilan, maka pemerintah akan kehilangan salah satu pilar terkuat untuk memelihara kedaulatan hukum.” (M.H. Thamrin)
No comments