Review Memory for Forgetfulness

Elegi Kerinduan tentang Tanah Air

Mahmoud Darwish adalah seorang penyair Palestina terkemuka. Karya-karyanya sarat akan perlawanan dan pengharapan. Sebagai seorang eksil yang hidup mengungsi dengan berpindah-pindah negara, ia kerap terusik mengenai identitas diri dan tanah airnya.

Memory for Forgetfulness menggambarkan fase hidupnya ketika menjadi pengungsi di Beirut, Lebanon. Beirut seolah menjadi kampung halamannya, ketika ia sendiri tak mendapatkan kesempatan untuk menjejakkan kaki di tanah kelahirannya di Palestina.

 

Review Memory for Forgetfulness


Buku ini berisi prosa dengan narasi yang panjang dan diselipi banyak puisi. Latarnya adalah peristiwa pengepungan Beirut oleh Israel pada tahun 1982.

(Jadi, jika selama tujuh bulan terakhir ini, Lebanon menjadi negara tetangga yang ikut serta dalam perjuangan pembebasan Palestina, karena sejarah mencatat bahwa dua negara tersebut memiliki riwayat yang sama. Sama-sama pernah diinvasi dan dibombardir oleh penjajah Israel, dan terus berlangsung sampai sekarang. Parahnya, dengan pemakluman dunia!).

Sebagai seorang penyair simbolis, Mahmoud Darwish banyak menggunakan perumpamaan-perumpamaan.

Perumpamaan kopi, laut dan burung menjadi pembuka keresahan-keresahannya.

“… Bagaimana mungkin aku menyebarkan aroma kopi ke dalam sel-selku sementara bom-bom dari laut menderas di luar dapur yang menghadap laut, menaburkan bau busuk bubuk mesiu dan rasa ketiadaan? ...”

Keresahan yang sesekali berujung pada kekhawatiran dan ketakutan.

“… Barangkali bukan roket yang akan membunuhku dalam sekejap, di luar kesadaranku. Barangkali ada dinding yang perlahan-lahan, runtuh menimpaku, dan penderitaanku akan berlangsung lama, tanpa seorang pun mendengar teriakan minta tolongku …”

Deskripsi yang digambarkan Mahmoud Darwish terasa tak asing, bahwa agresi barbar penjajah Israel memiliki pola yang sama sejak puluhan tahun lalu sampai sekarang. Jika dulu media dapat dibungkam, kini kita bisa menyaksikan kebrutalan demi kebrutalan merongrong kehidupan rakyat Palestina dan Lebanon lewat ponsel dalam genggaman.

Yang unik, Mahmoud Darwish tak hanya menyelipkan puisi-puisi yang pernah ditulisnya sendiri, tetapi juga menyertakan puisi-puisi dari penyair lainnya, yang beberapa di antaranya adalah temannya sendiri. Ini merupakan sebuah cara untuk menunjukkan disparitas antara bentuk dan isi yang disinggung dalam beberapa catatannya.

Catatan tentang bendera Palestina misalnya. Mahmoud Darwish menggambarkan, “Putih tindakan kami. Hitam pertempuran kami. Hijau padang rumput kami dan merah pedang kami.”

Mahmoud Darwish juga menyindir negara-negara tetangga, khususnya Arab dengan perumpamaan sepak bola, yang diakhiri dengan:

“Penjara bukan syarat pembebasan Palestina. Dan slogan ‘Tak ada juara yang dapat menandingi kerasnya suara pertempuran!” hanya dapat memunculkan satu makna: Tidak ada Palestina, tidak ada pertempuran, dan tidak ada suara. Hidup cambuk! Oleh karena itu, isu roti dan kebebasan telah menyusupi pertanyaan tentang pembebasan, disebarkan dengan kekebalan hukum sampai pemimpin Arab mengkhianati permainan ambigu mereka dengan mencekal Palestina di luar arena nasional, dan menyingkirkan pertanyaan tentang kondisi sosial dari pembahasan bangsa Arab.”

Yang menjadi pukulan telak, Mahmoud Darwish bahkan menyinggung pejabat tinggi di kepemimpinan Palestina dengan perumpamaan berhala, yang berkesimpulan:

“Tapi, kau tidak bilang apa-apa, Tuan Berhala. Dia menyelinap masuk ke pemerintahan, untuk menjadi oposisi, dan dia menyelinap masuk ke oposisi untuk menjadi pemerintah. Dia melawan otoritas dengan menggunakan otoritas lainnya. Dan dia pengikut yang begitu absolut sehingga dia sendiri tak punya pengikut.”

 Review Memory for Forgetfulness


Tentang perlawanan dan pengharapan, tentu saja dua hal tersebut menjadi inti dari buku ini.

“Anak-anak Palestina yang lahir dalam kamp-kamp pengungsi Lebanon, bersama pejuang Lebanon dan Palestina, mereka memperlihatkan heroisme yang luar biasa dalam melawan invasi Israel.”

Dan tentang Beirut, ia telah menjadi elegi kerinduan tentang tanah air murni yang padanya digantungkan harap suatu hari dapat dipijak kembali.

“Aku malu akan pertanyaanku, dan pada kenyataan bahwa Beirut telah menjadi laguku serta lagu semua orang yang tidak punya tanah air. Dan aku malu menyadari batapa ambigunya gagasan itu."

Memori bukan hanya tentang mengingat, tetapi menerima sejarah yang menghujaninya.

“Namun, Beirut adalah kota tempat informasi dan ekspresi politik bangsa Palestina berkembang. Beirut adalah tempat kelahiran ribuan orang Palestina yang tak mengenal kampung halaman lain. Beirut adalah pulau tempat para imigran Arab yang memimpikan dunia baru mendarat.”


Karena buku ini merupakan prosa panjang tanpa bab, serta dipenuhi metafora dan dialog-dialog imajiner yang membuat lelah bagi yang tak terbiasa membaca buku tebal, saya menyarankan untuk membacanya secara pelan-pelan dan fokus. Sebab gagasan-gagasan yang disampaikan mungkin tidak akan tertangkap jika kita membaca dan memaknainya dengan tergesa-gesa.

 

Judul Buku: Memory for Forgetfulness
Pengarang: Mahmoud Darwish
ISBN: 978-602-06-3473-9
Tebal: 256 Halaman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

You Might Also Like

No comments