Bulan
Ramadhan merupakan momentum yang baik untuk introspeksi diri dari segala macam perbuatan
kita yang telah berlalu. Beribadah di bulan ini, nikmatnya tiada terkira. Puasa
menjadikan kita peka. Konon, dengan perut yang kosong, nurani kita lebih
terasah untuk memahami sesama. Jadwal kegiatan mulai dari makan sahur sampai
waktu berbuka kemudian dilanjutkan sholat tarawih berjamaah membuat kita
terlatih untuk senantiasa disiplin, menghargai waktu. Dari Ramadhan ke Ramadhan
berikutnya, diharapkan dapat selalu menguji dan meningkatkan kadar ketakwaan
kita kepada Allah. Penempaan diri yang kontinu menuju perbaikan kualitas
pribadi, itu intinya.
Sholat
Tarawih berjamaah di masjid sangat dianjurkan daripada sholat sendirian
dirumah. Disamping, memang pahalanya berlipat-lipat, Allah juga menjanjikan
hikmah plus-plus bagi kita yang bisa menjaga tarawihnya, mulai dari hari
pertama sampai hari tarakhir Ramadhan. Bisa mengikuti sholat tarawih berjamaah
merupakan kebahagiaan. Pernah suatu kali, saya sedang dalam perjalanan ketika
waktu tarawih tiba. Melihat pemandangan di luar, orang-orang berduyun-duyun ke
masjid untuk sholat tarawih berjamaah, membuat saya iri. Betapa saya telah
melewatkan satu malam Ramadhan tanpa tarawih. Hati saya seperti tercabik-cabik.
Ramadhan, puasa dan tarawih sudah merupakan satu paket, tidak bisa dipisahkan.
Jika ada satu yang tidak tertunaikan, terasa ada yang kurang.
Ada
beberapa hal yang mengusik saya sehubungan dengan sholat tarawih berjamaah di masjid balakangan ini. Suatu
hal yang membuat saya mengelus dada, prihatin, karena terjadi di lingkungan
saya. Pertama, tentang shaf sholat. Rapatnya shaf merupakan salah satu syarat
sahnya sholat, itu seringkali diingat-ingatkan, bahkan ketika sang imam akan
memulai memimpin sholat. tapi rupanya hal ini tidak begitu diperhatikan, malah
terkesan diacuhkan. Untuk shaf barisan laki-laki mungkin tidak ada masalah,
karena berada di depan. Yang menjadi sumber keprihatinan adalah shaf barisan kaum
perempuan di belakang, yang terpisah dari shaf barisan laki-laki. Ini biasa
terjadi ketika jamaah membludak sampai ke emperan masjid. Suatu hari saya
ketinggalan satu rekaat sholat Isya, maka saya buru-buru lari dan mencari shaf
barisan sholat, yang awalnya saya pikir akan mendapatkan shaf paling belakang,
karena saya memang terlambat. Eh, tak tahunya, shaf baris kedua dari belakang
hanya diisi beberapa orang saja, masih banyak kosongnya, sementara shaf barisan
paling belakang justru penuh. Duhai.. ada apa dengan kalian, kenapa hati kalian
tidak tergerak sedikitpun untuk mengisi shaf yang masih kosong, yang
jelas-jelas ada di hadapan mata! Itu jerit saya dalam hati. Dan tahukah, kebanyakan
dari mereka adalah abege, yang seharusnya ilmunya masih segar dibandingkan
dengan orang tua jaman dulu yang mungkin tidak pernah diajarkan tentang sholat.
seharusnya mereka bisa memberi contoh, untuk bisa menjadi generasi yang lebih
baik karena lebih terdidik. Seharusnya.. seharusnya.. ah, lagi-lagi itu jeritan
hati saya. Kalau tidak salah ingat, dulu pas SD, saya pernah mendapat pelajaran
agama tentang pahala-pahala orang yang sholat berjamaah (tolong dicolek kalau
ingatan saya salah). Bahwa pahala orang yang menjadi makmum itu dihitung
berdasarkan jauh dekatnya dengan sang imam. Semakin dekat dengan imam, maka pahalanya
akan semakin banyak dan semakin jauh akan semakin berkurang. Maka, adalah lebih
baik jika kita berlomba-lomba untuk mendapatkan shaf barisan terdepan.
Akhirnya, saya yang datang terlambat itupun langsung nyelonong ke shaf barisan
kedua dari belakang, melewati orang-orang yang sedang sholat rekaat pertama
itu, biarlah. Pernah, saya mencoba menegur jamaah di belakang saya untuk maju
ke depan mengisi shaf yang masih kosong, tapi hanya ditanggapi dingin dan tak
sedikitpun bergeming. Jadi malu sendiri. Saya membayangkan pasti setan-setan
pada tertawa puas di shaf kosong tersebut.
Yang
kedua, tentang abege-abege jaman sekarang yang tampil salah kaprah. Mungkin
mereka ingin dinilai, “ini lho aku dengan segala kekinianku, aku lebih modern!”
Bayangkan saja, mereka membawa serta handphone (hp) ketika sholat tarawih.
Tidak menjadi masalah kalau hp tersebut dimatikan sementara waktu ketika
sholat, mungkin sesudah sholat, mereka ada kegiatan lain di masjid seperti
tadarusan, jadi tanggung kalau bolak-balik ke rumah. Untuk kasus ini, sah-sah
aja membawa hp di kantong baju, misalnya. Tapi ini.. oh kang emjiiii, mereka
sibuk ngotak-ngatik hp begitu sholat isya selesai, instant tanpa dzikir atau
minimal do’alah. Ada yang sekedar sms’an, pesbukan dan (yang paling parah)
pakai headset mendengarkan musik! Boro-boro mendengarkan khotib memberikan khotbah,
yang hanya sekitar tujuh menit itu. Dan otak-atik itu masih berlanjut ketika
sholat tarawih sudah mulai. Baru ketika Al-Fathikah rekaat pertama selesai
dibaca, mereka buru-buru berdiri ikut sholat. Mereka lupa rukun-rukun sholat! Apakah
mereka pikir, dengan begitu mereka terlihat keren, modern dan pintar gitu kali
ya. Plis deh, seorang presiden yang punya jadwal super padat aja, kayaknya
nggak mungkin juga akan berlaku seperti ini. Sementara mereka, hanyalah sekumpulan
abege usia sekolah yang tugas utamanya belajar, bukan mengurus perusahaan atau
negara! Oh, abege.. selabil itukah kalian, segalau itukah kalian dengan
masalah-masalah (yang biasanya kalian ciptakan sendiri)? Kalau hanya sekedar
gaya-gayaan, kan ada waktunya toh. Sehari ada 24 jam, dan tarawih paling lama,
kurang dari satu jam. Ada baiknya, waktu sholat tarawih di masjid kita
maksimalkan untuk berdo’a, mengingat Allah. Bukankah dengan berlaku sok-sok’an
seperti itu, berarti tidak serius dalam menjalankan ibadah. Kok saya jadi mikir
bahwa Allah dipermainkan ya, Naudzubillah! Mereka tidak sadar telah
‘menduakan’Nya dengan seonggok hp, Naudzubillah.. Naudzubillah!
Sekarang
ini, hp kan bukan merupakan barang mewah lagi. Beda keadaannya dengan sepuluhan
tahun yang lalu, mungkin dari sepuluh orang, hanya dua orang yang memiliki hp,
dan itu mungkin bisa menunjukkan status sosial atau prestise seseorang. Tapi
sekarang? Coba lihat, Pengamen di jalanpun banyak yang sudah nenteng hp (tipe
mahal lagi). Fasilitas-fasilitas, kemudahan-kemudahan yang bisa kita nikmati
karena kecanggihan tekhnologi ini seharusnya menjadikan kita pribadi yang lebih
cerdas. Jadi, pintar-pintarlah menempatkan diri, tahu waktu dan lokasi. Membawa
hp pada waktu sholat dan menggunakannya dengan seenaknya sendiri adalah
tindakan yang tidak bijak. Disamping mengganggu kekhusyukan jamaah lain, ini
juga kelakuan yang terlihat sangat norak! Hargailah jamaah lain, mereka juga
butuh ketenangan dalam beribadah, paling tidak dalam hati mereka tidak sibuk
menerka-nerka yang akhirnya timbul prasangka mengenai kelakuan kalian. Di luar waktu sholat tarawih, silahkan kalian
menggunakan hp sepuas-puasnya.
Ramadhan
akan lebih bermakna jika kita menggunakan setiap celah waktunya untuk
senantiasa memperbaiki diri, mempercantik akhlak dan mengasah nurani kita. Kita
tidak akan pernah tahu kapan Ramadhan terakhir kita. Banyak orang memperbanyak
do’a untuk diberi kesempatan berjumpa dengan Ramadhan berikutnya. Ramadhan akan
selalu dirindukan oleh manusia-manusia yang haus ibadah. Tidak menjadi berkah
jika setiap Ramadhan, tidak sedikitpun kualitas pribadi kita bertambah. Itu
hanya sia-sia saja dan kita akan menjadi manusia yang merugi. Jika kita bisa menjadi lebih dan lebih baik
lagi, itulah berkah dan hidayah untuk kita,
InsyaAllah! Agama dan negara butuh manusia-manusia pilihan yang santun dan bisa
menempatkan dirinya. Hei kalian.. generasi muda, tonggak harapan bangsa, mari
memaknai Ramadhan dengan lebih bijak.. Dan jadilah manusia-manusia pilihan itu!
^_^
Duuuuh..miris bacanya mbak santi. Abege sekarang ya, bukan cuma bikin kita geleng-geleng kepala, tapi pengen ngejitak aja :(
ReplyDeleteHihihi, iya mbak Elyn.. sangat memprihatinkan!
ReplyDeleteDuh ternyata dirimu ya si Dreamyhollic itu jeng Santi ... saya mikir siapaaa ini yaa. Kalau dari blog yang difollow, naga2nya orang BAW nih ... eh benar ....
ReplyDeleteAbegeh ya .... untung jaman kita abegeh gak ada hp-hp-an ya ... jadi perhatian "terpaksa" fokus ke ceramah ...