Ali Bin Abi Thalib, Khulafaur Rasyidin Keempat

Biografi Ali bin Abi Thalib  
 

Rasulullah adalah sosok yang telah membuktikan dalam sepanjang hidupnya sikap tawadhu dengan sebaik-baiknya. Wujud sifat tersebut tercermin dalam seluruh dimensi kehidupannya, baik dalam keluarga maupun masyarakat.

Ali bin Abi Thalib merupakan sosok yang perilakunya mendapat pengaruh dari tarbiyah Rasulullah secara langsung dalam periode yang panjang. Ali bin Abi Thalib memiliki tekad kuat dalam mengajarkan manusia bagaimana meneladani dan mengikuti Rasulullah dalam ucapan, perbuatan, dan ketetapan-ketetapannya.

Ali bin Abi Thalib tercatat sebagai ulamanya para sahabat senior, yang sungguh-sungguh mencari ilmu dan mengamalkannya.

Rasulullah pernah bersabda bahwa kedudukan Ali bin Abi Thalib di sisinya bagaikan kedudukan Harun bagi Musa.


Ali Bin Abi Thalib

Namanya Ali bin Abi Thalib (Abdu Manaf) bin Abdul Muthalib (Syaibah Al-Hamd) bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab bin Luai bin Ghalib bin Fahr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Ali bin Abi Thalib adalah anak paman Rasulullah dan bertemu nasab pada kakeknya, Abdul Muthalib. Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama dari Bani Hasyim yang dilahirkan di dalam Ka'bah. Setelah kelahirannya, ibunya, Fathimah binti Asad bin Hasyim memberinya nama Asad (Haidar) yang berarti singa, sama dengan nama kakek dari pihak ibu. Namun kemudian Abi Thalib menggantinya dengan nama Ali.

Julukan Ali Bin Abi Thalib

Kuniyah (panggilan) Ali bin Abi Thalib adalah Abu Hasan, dinasabkan kepada anak pertamanya, yaitu Hasan, keturunan Fathimah RA, putri Rasulullah. Ia juga biasa disebut Abu Hasan wal Husein atau Abu As-Sabthaini (dua cucu Rasulullah).

Rasulullah menjulukinya Abu At-Thurab, dan Ali bin Abi Thalib sangat menyukai julukan tersebut. Alkisah, ketika Ali bin Abi Thalib sedang berselisih dengan Fathiman RA, ia memilih pergi dan tidur di masjid. Rasulullah menemukannya dalam keadaan bertaburan debu lalu mengusapnya seraya berkata, “Bangunlah wahai Abu At-Thurab (Bapak debu).”


Rekam Jejak Moral Ali Bin Abi Thalib

Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak. Ali bin Abi Thalib tumbuh dalam pengasuhan Rasulullah dan Khadijah RA.

Ketika kaum Quraisy mengepung rumah Rasulullah untuk membunuhnya, Ali bin Abi Thalib menggantikan Rasulullah tidur di tempat tidurnya untuk mengelabui musuh. Sementara Rasulullah dan Abu Bakar Ash-Shiddiq, atas pertolongan Allah berhasil meloloskan diri untuk berhijrah. Ali bin Abi Thalib kemudian melaksanakan amanat-amanat Rasulullah mengenai perniagaan, sebelum akhirnya menyusul Rasulullah berhijrah ke Madinah dengan berjalan kaki sendirian.

Ali bin Abi Thalib mengikuti semua perang kecuali Perang Tabuk. Rasulullah menyerahkan bendera (panji Islam) kepada Ali bin Abi Thalib dalam banyak momen peperangan. Dalam Perang Badar, Ali bin Abi Thalib bersama Hamzah bin Abdul Muthalib dan Ubaidah bin Al-Harits bin Al-Muthalib berhasil mengalahkan para jagoan Quraisy dalam adu tanding.



Setelah Perang Badar, Rasulullah menikahkan Ali bin Abi Thalib dengan Fathimah RA dengan mahar baju perang, satu-satunya hartanya saat itu. Rasulullah mendidik Ali bin Abi Thalib dan Fathimah RA dalam kehidupan rumah tangga yang sederhana. Ini sangat memengaruhi sikap dan kepribadian Ali bin Abi Thalib di kemudian hari, termasuk saat menjabat khalifah.

Perang Uhud dimulai dengan adu tanding dua jawara. Ali bin Abi Thalib berhasil mengalahkan Thalhah bin Utsman yang mewakili kaum Quraisy. Ali bin Abi Thalib juga menyelamatkan Rasulullah dari sabetan pedang musuh. Ketika Rasulullah terluka, Ali bin Abi Thalib dan Fathimah RA mengobati dan mengusap darah beliau.

Ali bin Abi Thalib memiliki prestasi cemerlang dalam Perang Ahzab/Perang khandaq/Perang Parit. Ali bin Abi Thalib yang masih muda berhasil mengalahkan dan membunuh Amr bin Abdi Wud, seorang jagoan senior Quraisy yang sangat kuat dan ditakuti semua orang.

Ali bin Abi Thalib juga bersinar saat Perang Khaibar. Alkisah, ketika akan mulai perang, Rasulullah memberi pengumuman mengenai siapa yang akan membawa bendera. Semua sahabat berharap akan mendapatkan bendera. Ali bin Abi Thalib yang saat itu sedang sakit mata berada di barisan belakang dan tak terpikir akan bendera. Rasulullah bersabda, “Aku akan memberikan bendera ini kepada seseorang yang telah Allah berikan kemenangan di tangannya. Dia mencintai Allah dan Rasul-Nya. Allah dan Rasul-Nya juga mencintainya.” Dan Ali bin Abi Thalib diberikan kepercayaan membawa panji perang itu.

Ali bin Abi Thalib tidak mengikuti Perang Tabuk karena mendapat amanat dari Rasullullah untuk memimpin dan menjaga keamanan kota Madinah.

 

Ali bin Abi Thalib adalah sedikit dari sahabat Rasulullah yang memiliki kemampuan untuk menulis pada masa awal-awal Islam. Ali bin Abi Thalib adalah salah satu penulis wahyu Rasulullah. Kemampuan menulis dan membaca itulah yang menjadi kunci utama keluasan ilmu syariat yang dimilikinya. Ali bin Abi Thalib pun dipercaya Rasulullah untuk menuliskan isi Perjanjian Hudaibiyah.

Ali bin Abi Thalib memiliki lisan yang gemar bertanya untuk mencari ilmu dan hati yang mudah memahaminya. Ali bin Abi Thalib berkata, “Hendaklah jangan malu salah seorang di antara kalian untuk belajar jika ia tidak mengetahui sesuatu.”

Sesudah Fathu Makkah, Ali bin Abi Thalib diutus Rasulullah ke daerah Hamadzan di Yaman sebagai dai. Meskipun masih muda, Rasulullah memercayakan kepada Ali bin Abi Thalib mengenai penanganan masalah-masalah yang terjadi di Yaman karena keluasan ilmunya.



Ketika kekhilafahan berada di tangan Abu Bakar Ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib adalah orang yang pendapat fikihnya menjadi prioritas dalam memutuskan perkara.

Ketika kekhilafahan berada di tangan Umar bin Al-Khathab, Ali bin Abi Thalib adalah anggota inti dewan syura pemerintahan. Umar bin Al-Khathab memahami keutamaan Ali bin Abi Thalib sebagai ahli fikih dan ahli hikmah dengan pendapat-pendapat yang bagus.

Pada masa kekhilafahan berada di tangan Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib pun adalah penasehat dalam urusan kenegaraan, termasuk ketika proyek pengumpulan dan penulisan Al-Qur’an dalam satu mushaf.

MasyaAllah, ikatan yang terjalin di antara para Khulafaur Rasyidin begitu indahnya...

Kekhilafahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al-Khathab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib adalah pemerintahan yang secara ijma’ disepakati keabsahannya oleh para sahabat. Mereka saling mendukung dan menguatkan satu sama lain.

Ayyub As-Sakhtiyani berkata, “Barangsiapa yang mencintai Abu Bakar, maka ia telah menegakkan agama. Barang siapa yang mencintai Umar maka ia telah meretas jalan keselamatan. Barangsiapa yang mencintai Utsman maka ia telah mencari cahaya Allah Ta’ala. Barangsiapa mencintai Ali maka ia telah berpegang teguh dengan tali agama yang kuat. Dan barangsiapa senantiasa menjaga ucapan baik kepada para sahabat Rasulullah maka ia terbebas dari kemunafikan.”


Saat menjabat kekhilafahan, Ali bin Abu Thalib tetap rendah hati dan hidup dalam kesederhanaan. Pakaiannya dari bahan kasar dan harganya murah, tak pernah bermewah-mewahan. Ali bin Abi Thalib kerap menambal pakaiannya yang berlubang. Jabatan khalifah merupakan ladang amal salehnya. Orang-orang juga tidak kesulitan mencari, karena Ali bin Abi Thalib ada di mana-mana, beredar ke jalan-jalan dan pasar-pasar.

Bagi Ali bin Abi Thalib, kedudukan dan pangkat di dunia bersifat menipu dan lebih berat dari ujian harta. Banyak orang yang sebelum memiliki pangkat dan kedudukan bisa bersikap tawadhu, tetapi begitu memiliki pangkat dan kedudukan, pelan-pelan mulai membanggakan diri, sombong, dan sulit diajak berbicara dan ditemui.

Ali bin Abi Thalib mewakafkan diri dan hidupnya di jalan Allah, sama sekali tidak menyimpan hartanya.

Sifat zuhud dan tawadhu Ali bin Abi Thalib melebur dengan rasa malu, “Sesungguhnya aku benar-benar malu kepada Allah jikalau dosaku lebih besar dari rasa maafku, kebodohan lebih besar dari ilmuku, aurat tidak tertutupi oleh pakaianku, dan aib tidak tertutupi oleh kebaikanku.”

Muawiyah bin Abu Sufyan berkata, “Ali adalah sosok sahabat Rasulullah yang tidak terkesima dengan kehidupan dunia dan bunga-bunganya (nikmat-nikmatnya). Ia lebih senang berkawan dengan malam dan keheningannya. Saya bersaksi kepada Allah, saya telah menyaksikan berbagai sikap hidupnya.”

Dalam pemerintahannya, Ali bin Abi Thalib berlaku adil dan menjunjung tinggi asas musyawarah. Alkisah ada seorang Yahudi yang masuk Islam karena keadilannya. Bermula ketika Ali bin Abi Thalib melihat baju besinya ada pada seorang Yahudi yang berkeras bahwa itu miliknya. Ali bin Abi Thalib membawa perselisihan itu ke persidangan, rela mengantre, dan rela dengan keputusan persidangan yang menyatakan bahwa baju itu milik orang Yahudi karena Ali bin Abi Thalib tidak cukup memiliki saksi seperti yang sudah disepakati kebijakannya. Orang Yahudi tersebut kagum dengan cara penyelesaian dan hasil keputusan itu, yang kemudian akhirnya mengaku jika baju itu memang milik Ali bin Abi Thalib yang dicurinya tiga hari sebelumnya.

Ali bin Abi Thalib menegakkan banyak syariat selama pemerintahannya seperti hukum terkait bersuci, shalat, zakat, puasa, ibadah haji, keuangan, serta hukum di luar ibadah, seperti hudud dan ta’zir.


Biografi Ali bin Abi Thalib  
 

Masa kekhilafahan Ali bin Abi Thalib yang berlangsung selama empat tahunan, diuji dengan fitnah dan adu domba akibat pembunuhan Utsman bin Affan. Konspirasi dari orang-orang yang mendengki dan menyebarkan dusta membuat umat terpecah belah. Termasuk ketegangan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyyah bin Abi Sufyan.

Muawiyah bin Abi Sufyan tidak mengingkari kekhilafahan dan mengakui keutamaan Ali bin Abi Thalib dalam ilmu, agama dan keberaniannya.

Perbedaan pendapat antara Muawiyah bin Abi Sufyan dan Ali bin Abi Thalib bukan dalam urusah khalifah. Namun berbeda pendapat tentang qisas pembunuh Utsman bin Affan. Ali bin Abi Thalib setuju dengan prinsip qisas namun setelah kondisi negara tenang, kondusif dan menyatukan umat. Sementara Muawiyah bin Abi Sufyan berijtihad bahwa menyerahkan para pemunuh Utsman bin Affan harus dilakukan lebih dulu sebelum baiat terhadap Ali bin Abi Thalib.

Hal itu yang mendasari fitnah dan adu domba dalam umat yang disebarkan oleh kelompok pembunuh Utsman bin Affan. Adu domba ini termasuk sampai ke Aisyah RA dan sahabat-sahabat Rasulullah lainnya yang ketika itu sedang melaksanakan umroh.

Pada akhirnya Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan bersepakat yang dituangkan dalam Perjanjian Tahkim (Arbitrase). Begitu pun Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah RA telah berdialog, karena keduanya pernah mendapat pesan dari Rasulullah tentang perkara fitnah yang akan menimpa mereka ini.

Namun, pihak-pihak yang tidak senang dengan perdamaian ini terus mengembuskan isu, berita bohong, untuk terus memprovokasi dan menghancurkan umat.

Kebohongan, fitnah, serta adu domba itu akan terus ada sampai akhir zaman. Menjadi tantangan bagi umat yang hidup pada zaman sekarang untuk mengencangkan ikat pinggang persaudaraan dan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunah.

Seperti sosok Ali bin Abi Thalib yang gemar belajar, seharusnya kita pun tak lelah mengkaji nilai-nilai untuk terus menegakkan peradaban Islam.

Dan di era post truth sekarang ini, adalah juga tantangan berat bagi kita untuk mewaspadai bacaan-bacaan yang mendistorsi kebenaran sejarah.


Referensi: Biografi Ali Bin Abi Thalib oleh Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi
(Pustaka Al-Kautsar 2016)

 

Jakarta, 24 Ramadhan 1444 H




You Might Also Like

2 comments

  1. Pantesan Ali dipercaya sama Rasulullah ya, mba. Kemampuan baca tulisnya salah satu yang terbaik di zamannya. Masya Allah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masyaallah, 1400an tahun yang lalu peradaban Islam sudah terbangun dengan baiknya ya La..

      Delete