Review Light in Gaza

Review Light in Gaza


Buku ini merupakan antologi esai dari beberapa penulis Palestina. Isinya merupakan refleksi mendalam tentang pengalaman hidup di Gaza yang beragam, tetapi benang merahnya sama, yaitu memahami Gaza dalam bayang Nakba terkait masa lalu, masa kini dan masa depannya.

Sejak Perjanjian Oslo 1993, Palestina terpecah belah. Gaza menjelma enklaf yang terisolasi dari wilayah lainnya. Realitas brutal pendudukan, blokade, perampasan hak dasar kemanusiaan, marginalisasi dan dehumanisasi menjadi konsumsi sehari-hari.

 

Review Light in Gaza

Antologi ini diharapkan dapat mematahkan propaganda maupun narasi palsu yang membenarkan isolasi politik Zionis Israel, Amerika serta sekutu-sekutunya, mendobrak blokade intelektual dan menegaskan kembali identitas serta sejarah bangsa Palestina.

"How many more Palestinians should be massacred for the world to care about our lives?” adalah kutipan tulisan dari Refaat Alareer berjudul Gaza Asks: When Shall This Pass? sebagai esai pembuka. Profesor dalam bidang Sastra Inggris itu membagikan pengalamannya tumbuh dalam masa Intifada dan agresi-agresi Israel setelahnya. Dia pernah tertembak tentara penjajah sebanyak tiga kali, menjadi saksi temannya syahid tertembak, dan kehilangan keluarga satu per satu.  Dalam agresi 2014, dia kehilangan sebagian besar keluarganya.

 

 Review Light in Gaza

Pada awal Desember 2023 ini, dua bulan sejak zionis penjajah kembali membombardir Gaza tanpa henti, akademisi itu pun ‘menyusul’ keluarganya. Sehari sebelumnya dia telah berada di pengungsian, tetapi kemudian memilih menyingkir ke apartemen adiknya karena ancaman penjajah. Zionis penjajah kemudian menjatuhkan bom pada apartemen tersebut. Dia syahid bersama seluruh keluarganya yang ada di sana. (Momennya sama persis ketika saya mulai membaca buku ini, yang membuat saya merasa sedih, marah, geram bercampur aduk jadi satu).

Beberapa hari sebelum syahid, Refaat membagikan puisi yang berjudul If I Must Die di laman media sosialnya. Puisi itu dan karya-karyanya yang lain akan dikenang Gaza dan dunia, serta menginspirasi perjuangan generasi selanjutnya, seperti yang dia tulis sebagai penutup esainya di buku ini, "We have no choice but to recover, stand up again, and continue the struggle. Submitting to the occupation is a betrayal to humanity and to all struggles around the world."

Review Light in Gaza

Tulisan lain dalam buku ini menggambarkan kehidupan sehari-hari warga Gaza yang hidup di bawah blokade dengan pembatasan air, makanan, listrik, internet dan pergerakan.

Dalam esainya yang berjudul On Why We Still Hold Onto Our Phones and Keep Recording, Asmaa Abu Mezied berhasil membawa saya seolah-olah berlari menghindari misil atau mengais-ngais harapan di tengah reruntuhan sambil terus merekam dengan telepon genggam. Kenapa itu harus dilakukan? Agar generasi selanjutnya tahu tentang apa yang terjadi, bahwa mereka telah berjuang untuk hak-hak mereka dan berharap pembelaan atas nama kemanusiaan untuk mengakhiri penderitaan yang lebih daripada yang bisa direkam oleh kamera.

Review Light in Gaza

Dalam esai yang berjudul People’s Light in Gaza Darkness, Suhail Taha menganalisis pelajaran dan hikmah tentang pembatasan listrik di Gaza, yang hanya menyala sekitar empat jam dalam sehari semalam. Kekurangan listrik berarti tidak harus percaya tentang hal-hal yang didengar, bahwa malam terasa lebih panjang daripada siang, dan tak harus menunggu listrik untuk hal-hal yang perlu dilakukan. Kekurangan listrik juga berarti bahwa orang-orang dapat mendengar lebih baik dalam kegelapan. Jika tanpa listrik kau bisa bertahan, maka kau akan bisa bertahan dalam kondisi apapun.

 Review Light in Gaza

Basman Aldirawi menulis esai yang cukup menggelitik, diberi judul Gaza 2050: Three Scenario. Pertama, The No-Solution Scenario, yang menggambarkan tanpa solusi apa pun, kehidupan Gaza monoton sama persis dengan kondisi sekarang. Maka kehidupan warga Gaza pun semakin memburam. Kedua, The Two-State-Solution Scenario, yang mengharapkan dua negara hidup damai berdampingan. Dan itu rasanya mustahil. Pada kenyataannya, kini, solusi dua negara yang ditawarkan oleh para pialang kekuasaan global telah gagal, bahkan hampir mati, dan hanya menjadi khayalan semu. Gaza akan tetap tertindas. Ketiga, The One-State-Solution Scenario, yang menggambarkan Palestina menjadi negara demokratis dan menjalani kehidupan normal sebagaimana layaknya negara lain.

Review Light in Gaza

Perihal kebudayaan, Mosab Abu Toha dengan apik menjelaskan dalam esainya yang berjudul Exporting Oranges and Short Stories: Cultural Struggle in the Gaza Strip. Sebagai seorang yang bertahan selamat dalam empat kali serangan penjajah, Mosab berhasil membangun mimpi-mimpinya dan menyuntikkan semangat yang sama dalam komunitasnya. Dia menarik relawan-relawan dari berbagai negara untuk turut menyumbang buku-buku untuk perpustakaan yang didirikannya. Tak mudah untuk memasukkan buku-buku ke Gaza yang diblokade. 

Ini sangat menarik untuk dicermati. Dalam kondisi terblokade, indeks literasi di Gaza pada tahun 2014 mencapai 96.4%. Sebagian besar warganya mengenyam bangku perguruan tinggi. Yang membanggakan lagi, seorang pemuda dari Beit Hanoun berhasil menjadi salah satu tim yang dibentuk oleh NASA untuk misi pendaratan di Mars. Hal ini memperkuat tekad, tak peduli sebanyak apa pun Gaza dibombardir menghancurkan sekolah dan perpustakaan, setiap orang dapat menerbangkan dan mewujudkan mimpi-mimpinya. Meskipun tetap ada banyak hal yang miris, misalnya ketika seorang anak Gaza bercita-cita ingin menjadi pilot. Bagimana dia akan merawat dan menumbuhkan mimpinya, sementara bandara di Gaza sudah hancur bertahun-tahun yang lalu dan belum ada kemungkinan untuk dibangun lagi.

Review Light in Gaza

Esai yang tak kalah menarik dan menantang masa depan ditulis oleh Nour Naim berjudul Artificial Intelligence as a Tool for Restoring Palestinian Rights and Improving the Quality of Life. Selama ini, zionis penjajah menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) melalui drone untuk memata-matai kegiatan sehari-hari warga Gaza. Sistem pertahanan militernya pun didominasi oleh AI. Kesenjangan teknologi ini menjadi tantangan. Bagaimana AI bisa dikembangkan lebih lanjut untuk mendukung hak-hak dan kebebasan Palestina?

For more, you must read by your self…

Review Light in Gaza

Buku ini ditutup dengan sebuah puisi berjudul A Rose Shoulders Up yang ditulis oleh Mosab Abu Toha yang tercantum pula dalam buku kumpulan puisinya yang berjudul Things You May Find Hidden in My Ear. Saya pernah membuat ulasannya di sini: Review TYMFHIME

Bagi Gaza, buku ini menawarkan secercah cahaya harapan, bahwa mereka dapat hidup bebas bermartabat tanpa pendudukan militer. Buku ini juga membawa inspirasi bagi dunia, di mana ketidakadilan masih membelenggu sudut-sudut yang dihuni kaum marginalnya.

Buku ini direkomendasikan bagi yang ingin memahami lebih dalam sudut pandang dan realitas kehidupan di Gaza secara objektif.

 

Light in Gaza


Thank you for the publisher, Haymarket Books, for the free e-book.


Judul Buku: Light in Gaza, Writings Born of Fire
Editor: Jehad Abusalim, Jennifer Bing, dan Mike Merryman-Lotze
Penerbit: Haymarket Books
Terbit: 2022
ISBN: 978-1-64259-725-7
Penulis:  Refaat Alareer, Asmaa Abu Mezied, Shahd Abusalama, Basman Aldirawi, Salem Al Qudwa, Suhail Taha, Nour Naim, Mosab Abu Toha, Dorgham Abusalim, Yousef M. Aljamal, Israa Mohammed Jamal.


Buku bisa dibeli di sini: https://www.haymarketbooks.org/books/1861-light-in-gaza

Tulisan ini untuk mendukung Read Palestine Week yang diselenggarakan oleh: https://publishersforpalestine.org/

You Might Also Like

No comments