Buku ini berisi tentang sejarah puisi perlawanan Palestina, dimulai dari
masa Mandatori Palestina 1922-1948, masa Nakba dan Naksa 1948-1967,
setelah 1967, serta sekelumit masa sekarang.
Para penyair yang disebutkan dalam buku ini adalah penyair terkemuka Palestina yang puisi-puisinya melegenda dan menjadi simbol perjuangan dan perlawanan Palestina.
Masa Mandatori Palestina 1922-1948
Sejarah puisi perlawanan Palestina dimulai ketika Palestina berada dalam wilayah administrasi yang diperintah oleh Inggris, setelah disintegrasi Kekhalifahan Ottoman. Pada tahun 1917, selama Perang Dunia I, sebagai ganti memberikan kemerdekaan bagi populasi Arab yang telah dijanjikan, Inggris malah menjajah Palestina. Pada tahun yang sama, Inggris berjanji mendukung pendirian tanah air Yahudi di Palestina yang tertuang dalam Deklarasi Balfour.
Ketegangan meningkat ketika imigran Yahudi mulai datang dalam jumlah besar. Pada akhir 1935, temuan kapal selundupan yang membawa senjata untuk militer Yahudi, menyebabkan perlawanan Arab Palestina antara tahun 1936-1939. Pada tahun 1936, rakyat Palestina meminta pemerintah mengakhiri mandat Inggris dan pembelian tanah oleh imigran Yahudi. Pada tahun 1937, militer Inggris menjadi target para petani Palestina yang dipimpin oleh gerakan perlawanan, yang selanjutnya menyebabkan penindasan brutal dan perusakan desa-desa oleh militer Inggris.
Ibrahim Tuqan (1905-1941)
Puisi Ibrahim Tuqan menjadi terkenal selama 1936-1939, ketika populasi Arab Palestina melawan administrasi Inggris. Salah satu puisi yang ia tulis saat itu, berjudul Mawá¹inÄ«, menjadi lagu kebangsaan tak resmi Palestina. Puisi tersebut digubah menjadi lagu oleh Mohammed Flayfel. Pada tahun 2004, puisi tersebut diadopsi menjadi lagu kebangsaan Irak.
Berikut potongan puisi yang melegenda itu dalam terjemahan bahasa Inggris:
Puisi yang digubah menjadi lagu telah dinyanyikan oleh beberapa musisi dan paduan suara Palestina, salah satunya adalah Edward Said National Conservatory of Music, bisa disimak di sini: https://www.youtube.com/watch?v=9plTVf-go6M
Hari-hari ini, saya sering mendengar lagu puisi itu disenandungkan oleh warga Gaza untuk menjadi penyemangat dan penghiburan mereka dalam menghadapi genosida yang dilancarkan penjajah Israel dan sekutu-sekutunya.
Masa Nakba dan Naksa 1948-1967
Pendirian Israel oleh Inggris dan US dengan dukungan PBB pada Mei 1948, menyebabkan ratusan ribu warga Palestina terusir dari rumah mereka dan tak memiliki kesempatan untuk kembali. Peristiwa pengusiran besar-besaran itu disebut Nakba, yang berarti bencana.
Puisi perlawanan Palestina muncul lebih kuat sebagai gerakan setelah ini. Ada dua cabang puisi yang berkembang, yaitu puisi eksil, yang ditulis oleh warga Palestina yang terusir dan tak bisa kembali ke tanah airnya, kebanyakan mereka dari golongan elit dan berpendidikan, serta puisi hikayat Palestina yang ditulis oleh warga Palestina yang masih tinggal di tanah airnya di bawah aturan militer Israel.
Dalam masa ini, festival puisi berkembang. Puisi mudah dihafal, direkam, dan menjadi suara bagi ketidakadilan yang dialami warga Palestina, seperti perusakan tanah dan desa, pembatasan gerakan serta segala bentuk penindasan lainnya.
Ghassan Kanafani (1936-1972)
Ghassan Kanafani dan keluarganya adalah bagian dari korban Nakba. Kanafani mulai menulis cerita pendek ketika bekerja di kamp pengungsian.
Kutipan puisi Ghassan Kanafani yang terkenal:
Menurut Ghassan Kanafani, puisi adalah medium bagi yang tertindas untuk mengekspresikan diri. Puisi didominasi oleh setiap manifestasi dalam hidup.
Menanggapi popularitas puisi perlawanan, militer Israel membunuh beberapa penyair, memenjarakan, atau melarang segala bentuk pertemuan perkumpulan. Ghassan Kanafani berkata, “Doktrin gelombang baru ini begitu berani, penuh dengan semangat dan optimisme, serta dihidupkan oleh jiwa penentangan.”
Masa Setelah 1967, Masa Regresi dan Konsep Ṣumūd
Masa setelah perang 1967 disebut sebagai ‘Regresi’ karena puisi menjadi berkurang nilai revolusinya, lebih sunyi, sedikit dibicarakan, dan lebih sering ditulis. Puisi menjadi lebih individual, ekperimental dengan horison dan estetika baru dari versi yang bebas. Ada sebuah ketidakpuasan dengan gerakan seperti komunisme dan nasionalisme Arab, serta perubahan revolusi ideologi terhadap konsep á¹¢umÅ«d.
Ṣumūd adalah sebuah konsep nilai warga Palestina yang berarti ketabahan dan ketahanan, yang menjelma dalam perilaku perlawanan nonkekerasan dan menentukan untuk tetap tinggal dan bertahan di dalam tanah air Palestina. Konsep ini khususnya berkembang pada tahun 1967, saat Gaza dan Tepi Barat dijajah, ketika intervensi militer negara-negara Arab sekitarnya tertimpa kekalahan melawan Israel.
Ketika terjadi Intifada Pertama (1987-1993), konsep Ṣumūd termasuk ide membangun institusi mandiri seperti sekolah yang mengizinkan warga Palestina bebas dari kontrol Israel, boikot produk-produk Israel, serta meningkatkan hasil panen sebagai ketahanan pangan. Konsep ini lalu diasosiasikan dengan simbol pohon zaitun dan semangka, yang merepresentasikan kesinambungan dan keterkaitan dengan alam.
Tawfiq Ziad (1929-1994)
Sebagai seorang penyair dan politikus, Tawfiq Ziad adalah seorang yang kuat dan figur sentral dalam perjuangan hak asasi warga Palestina, turut serta dalam festival puisi yang diadakan meskipun dalam aturan militer Israel. Bagi Israel, puisi-puisinya dianggap ‘beracun’, karenanya beberapa kali ia ditangkap dan dipenjarakan. Puisinya yang berjudul ‘Pohon Zaitun’ menggambarkan kengerian sehari-hari yang dialami oleh warga Palestina di bawah pendudukan militer Israel.
Berikut kutipan bait pertama dan kedua puisi tersebut:
Mahmoud Darwish (1941-2008)
Mahmoud Darwish merupakan penyair Palestina terkemuka yang telah menulis lebih dari 30 buku kumpulan puisi, menjadikannya sebagai penyair favorit Palestina.
Salah satu buku kumpulan puisinya pernah saya review di sini: Unfortunately It Was Paradise
Puisi-puisi Mahmoud Darwish mengekspresikan semangat ketika menghadapi penderitaan, perjuangan, serta kecintaan pada tanah air. Pengalaman hidupnya terjalin lekat dengan kisah warga Palestina pada umumnya.
Berikut adalah puisi yang ditulis Mahmoud Darwish tentang Gaza:
Dua penyair lainnya dalam masa ini adalah Fadwa Tuqan dan Samih al-Qassim. Fadwa Tuqan merupakan adik perempuan Ibrahim Tuqan. Puisinya yang terkenal berjudul ‘Enough for Me’ menggambarkan rasa memiliki dan kesatuannya dengan tanah air. Samih al-Qsasim adalah penyair sekaligus politikus yang pernah bekerja bersama Presiden Yasser Arafat. Tema dalam puisi-puisinya termasuk cinta tanah air, kebanggaan akan budaya dan identitas Arab serta toleransi beragama.
Masa Sekarang, Sebuah Warisan Puisi Perjuangan
Diilhami oleh figur-figur penyair terkemuka yang telah disebutkan sebelumnya, tumbuh banyak penyair Palestina seperti Ghassan Zaqtan, Fady Joudah, Naomi Shihab Nye, Remi Kanazi, Mohammed Moussa, Reefat Alareer, dan Hiba Abu Nada.
Hiba Abu Nada adalah penyair yang syahid karena bombardir Israel, tepatnya pada 20 Oktober 2023. Puisi-puisinya mengekspresikan spritualitas Islam yang kuat serta arti harapan dan cahaya walau dalam keadaan yang mengerikan dan menyedihkan sekalipun. Puisinya yang berjudul ‘I Seek Refuge for You’ sangat menyayat hati.
Refaat Alareer yang merupakan seorang profesor sastra dan aktivis, juga telah syahid pada Desember 2023 karena bombardir penjajah Israel. Beberapa hari sebelumnya, ia membagikan puisi yang berjudul ‘If I Must Die’ di laman media sosialnya. Puisi yang kemudian banyak dibacakan di berbagai belahan dunia.
Barangkali jika boleh menambahkan, mungkin penyusun terlewat menyebutkan nama, Mosab Abu Toha juga merupakan penyair muda Palestina yang patut diperhitungkan. Jejak kiprah literasinya telah mewarnai Gaza. Puisi-puisinya pun sarat akan perjuangan dan harapan. Saya pernah me-review bukunya di sini: Things You May Find Hidden in My Ear
Dan bukan tidak mungkin, dalam tragedi genosida mengerikan yang sekarang terjadi di Gaza, akan muncul tunas-tunas penyair baru yang kelak menumbuhkan puisi-puisi yang dahsyat kekuatannya yang turut serta secara intelektual mendobrak tembok apartheid dan merekahkan semangat kemerdekaan Palestina.
Judul Buku : A History of Palestinian Resistance Poetry
Penyusun : RS Spiker
Penerbit : Lote Tree Press
ISBN : 978-1-7394601-3-6
No comments